Selasa, 07 Mei 2013

TUGAS SISTEM PERTANIAN TENTANG INTEGRITAS FARMING TANAMAN KELAPA SAWIT, TANAMAN JAGUNG , TERNAK SAPI DAN PERIKANAN IKAN LELE


I.                    Pendahuluan

1.1.        Latar Belakang
          Integrasi  kelapa sawit, tanaman jagung, sapi dan lele merupakan suatu sistem usahatani tanaman perkebunan, pertanian,ternak dan perikanan yang potensial dikembangkan di Indonesia karena didukung oleh luas pertanaman kelapa sawit sekitar 7 juta hektar dan kesesuaian adaptasi ternak sapi yang baik. Kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini belum swasembada dan sebagian masih diimpor dapat ditingkatkan populasi dan produktivitasnya melalui integrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Integrasi ini juga dapat meningkatkan efisiensi usaha pada perkebunan kelapa sawit. Sinergi positif yang dapat dicapai dari integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah dapat menjamin suplai pakan bagi ternak sapi, penghematan penggunaan pupuk anorganik bagi tanaman kelapa sawit dan penghematan tenaga kerja dalam pengangkutan TBS kelapa sawit dan tenaga pencari rumput untuk pakan sapi. Dengan adanya integrasi, permasalahan limbah ternak sapi dan limbah kegiatan agribisnis kelapa sawit bukan saja dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali, namun juga memberikan nilai tambah bagi seluruh pelaku usaha. Usahatani integrasi ternak sapi dengan kelapa sawit ke depan juga dapat menyehatkan lahan-lahan pertanian melalui pengembangan penggunaan pupuk organik dan dapat meningkatkan nilai tambah produk CPO sebagai produk organik yang ramah lingkungan. Dengan integrasi tersebut maka akan tercipta sentra pertumbuhan peternakan baru dimana komoditi ternak dapat saja menjadi unggulan (solely) atau komoditi ternak hanya sebagai penunjang (mix faming). Tetapi bisa saja terjadi, ternak yang tadinya sebagai unsur penunjang kemudian secara bertahap menjadi unsur utama atau sebalikya. Ikan yang digunakan untuk integrated farming system adalah ikan air tawar yang dapat beradaptasi dengan lingkungan air yang keruh, tidak membutuhkan perawatan ekstra, mampu memanfaatkan nutrisi yang ada dan memiliki nilai ekonomis. Ikan yang sering digunakan adalah ikan nila, gurami, mas, tambakan dan lele. Ikan dapat dipeli-hara secara tunggal (monoculture) atau campuran (polyculture), asalkan jenis yang dipelihara mempunyai kebiasaan makan berbeda agar tidak terjadi perebutan pakan, misalnya ikan lele .Nutrisi untuk ikan berasal dari jatuhan kotoran ternak yang kering dan sisa pakan ternak. Selain yang kering, kotoran ternak yang jatuh ke kolam juga memacu perkembangan plankton yang menjadi makanan ikan. Oleh karena itu, sebaiknya peternak juga memilih ikan yang dapat memanfaatkan plankton di dalam kolam seperti ikan tambangan.

1.2.        Tujuan
a.   Untuk mendapatkan produk tambahan yang bernilai ekonomis, peningkatan efisiensi usaha, peningkatan kualitas penggunaan lahan, peningkatan kelenturan usaha menghadapi persaingan global, dan menghasilkan lingkungan yang bersih dan nyaman.
b.   Diversifikasi penggunaan sumberdaya
c.   Mengurangi resiko usaha
d.   Efisiensi penggunaan tenaga kerja
e.   Efisiensi penggunaan input produksi
f.    Mengurangi ketergantungan energi kimia
g.   Meningkatkan produksi
h.  Pendapatan rumah tangga petani yang berkelanjutan

1.3.        Manfaat

a.    Integrasi sapi dengan kelapa sawit dapat mendorong peningkatan populasi dan produktivitas sapi dan efisiensi usaha perkebunan sawit.
b.    Secara ekonomi, peningkatan populasi ternak sapi dapat mengurangi impor yang menghemat devisa negara, meningkatkan kelenturan agribisnis kelapa sawit dalam persaingan global.
c.    Sistem integrasi  kelapa sawit, jagung, sapi, dan lele memberikan tambahan pendapatan bagi petani  pekebun sawit, jagung, sapid an lele dari hasil samping yang diperoleh (pakan, efisiensi tenaga kerja, penggunaan pupuk organik).
d.    Usahatani integrasi kelapa sawit, jagung, sapi, dan lele ramah lingkungan dan berkelanjutan.










II.                Tinjauan Pustaka
         Perpaduan sistem integrasi tanaman perkebunan, pertanian  perternakan  dan perikanan, dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak (resource driven) dengan tujuan daur ulang optimal dari sumberdaya nutrisi lokal yang tersedia (Low External Input Agriculture Sistem atau LEIAS). Sistem yang kurang terpadu dicirikan dengan kegiatan tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan, tetapi tidak tergantung satu sama lain (demand driven) karena didukung oleh input eksternal (High External Input Agriculture Sistem atau HEIAS) (Dirjen Peternakan, 2009).
          Menurut Handaka et al (2009), sistem integrasi tanaman perkebuanan, pertanian, perternakan dan perikanan  adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu kegiatan usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan petani dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumberdaya pertanian yang tuntas.
           Diversifikasi usahatani telah tumbuh dan berkembang di perdesaan, salah satunya bertujuan untuk mengantisipasi resiko usaha dari kegagalan usahatani sejenis. Namun pola integrasi (mix farming) belum banyak dilakukan atau dikenal oleh petani skala kecil, karena umumnya pola usaha yang dilakukan adalah subsisten. Padahal kesempatan untuk melakukan integrasi sangat besar ditinjau dari potensi lahan dan ternak yang ada. Salah satu penyebabnya adalah penguasaan dan pemanfaatan teknologi pertanian (Handaka et al 2009).
              Usahatani ternak sapi menghadapi tantangan penyusutan lahan sehingga produksi hijauan dan hasil samping pertanian yang dapat dijadikan pakan sapi juga ikut berkurang. Disisi lain, usahatani ternak sapi dituntut untuk terus memacu produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang terus berkembang. Memacu produksi melalui pemberian konsentrat tidaklah ekonomis, karena harganya terlalu mahal dan terus naik, karena bahan bakunya sebagian diimpor dan bahan baku asal dalam negeri bersaing dengan kebutuhan lain. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pengembangan usaha ternak sapi ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping perkebunan, yang tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumberdaya (Suharto, 2003).
             Dukungan perusahaan perkebunan swasta maupun pemerintah melalui sistem inti-plasma dapat ikut mendukung usaha integrasi sapi dan tanaman perkebunan jika hal ini menjadi salah satu perhatian perusahaan. Petani yang memiliki/merawat kebun dapat saja mengintegrasikan kebunnya sebagai sumber pendapatan utama dengan ternak sapi yang dibantu melalui kredit lunak oleh perusahaan perkebunan (bagi petani plasma) maupun melalui program pemerintah (petani rakyat). Limbah tanaman perkebunan yang melimpah dapat dijadikan pakan ternak sapi, sebaliknya ternak sapi dapat menjadi tenaga kerja dan sumber pupuk organik bagi tanaman.
          Melalui pola di atas, efisiensi usaha perkebunan meningkat melalui pengurangan pupuk kimia karena telah disubstitusi oleh pupuk organik yang dapat diolah dari kotoran sapi serta biaya angkut menjadi lebih murah karena dapat menggunakan sapi sebagai tenaga kerja, khususnya dari lokasi-lokasi kebun yang sulit dijangkau. Efisiensi usaha ternak dapat ditingkatkan melalui penyediaan pakan yang kontinyu dari limbah perkebunan, mudah dan murah diperoleh. Dengan demikian, masalah limbah, baik dari ternak sapi maupun dari kebun/pabrik dapat teratasi. Selanjutnya Siahaan et al (2009) menambahkan bahwa tanaman kelapa sawit yang diintroduksi sejak tahun 1848 ke Indonesia, merupakan komoditas penting bagi Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Bila daging sapi merupakan sumber protein hewani, kelapa sawit merupakan sumber utama minyak dan lemak nabati untuk pangan bagi penduduk Indonesia, Peternakan sapi di sekitar perkebunan kelapa sawit dimulai dalam bentuk penggembalaan bebas untuk memanfaatkan ketersediaan hijauan berbentuk gulma di bagian bawah tanaman kelapa sawit. Awaludin dan Masurni (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2002, terdapat 214 perkebunan kelapa sawit di Malaysia telah melaksanakan sistem integrasi dengan 127.589 ekor sapi dalam program pengendalian hama terpadu pada kebun kelapa sawit. Hasilnya, usaha penggemukan sapi dapat menekan perkembangan gulma sampai 77% sehingga dapat menghemat biaya pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit.
            Di Indonesia, Pusat Penelitian Kelapa Sawit secara konservatif tidak menganjurkan penggembalaan, namun perkandangan pada integrasi sapi dengan kelapa sawit. Hal ini karena mengganggu pertanaman kelapa sawit seperti pengerasan tanah, kemungkinan sapi memakan pelepah muda tanaman sawit yang belum menghasilkan, disamping itu produktivitas sapi relatif rendah karena kurang terkendalinya kualitas dan kuantitas pakan (Siahaan et al, 2009). Selain menghasilkan CPO sebagai komoditas utama, industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil samping yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, yakni serabut mesokarp (palm press fibre/PPF), lumpur sawit (palm sludge/PS), bungkil inti sawit (oil palm frond/OPF), dan pelepah sawit (oil palm trunk/OPT) yang diperoleh dari kebun kelapa sawit. Gambar 2 menampilkan komposisi produk dan hasil samping pabrik kelapa sawit dan potensi pemanfaatannya sebagai pakan ternak (Elisabeth dan Ginting, 2004).
III.             PEMBAHASAN

3.1.     Pola  Penanaman Polikurtur atau Intergritad Farming Sawit Tanaman Jagung, Sapi
dan Ikan Lele
3.1.1. Pola Penanaman Kelapa sawit

Pola tanam kelapa sawit dapat monokultur ataupun tumpangsari dan polikultur. Pada pola tanam monokulltur, sebaiknya penanaman tanaman kacang-kacangan (LCC) sebagai tanaman penutup tanah dilaksanakan segera setelah persiapan lahan selesai. Tanaman penutup tanah (legume cover crop atau LCC) pada areal tanaman kelapa sawit sangat penting karena dapat memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah, mencegah erosi, mempertahankan kelembaban tanah dan menekan pertumbuhan tanaman pengganggu (gulma). Sedangkan pada pola tanam tumpangsari tanah diantara tanaman kelapa sawit sebelum menghasilkan dapat ditanami tanaman jagung , ternak sapi dan kolam ikan lele.
a.   Pengajiran
Maksud pengajiran adalah untuk menentukan tempat yang akan ditanami kelapa sawit sesuai dengan jarak tanam yang dipakai. Ajir harus tepat letaknya, sehingga lurus bila dilihat dari segala arah, kecuali di daerah teras dan kontur. Sistem jarak penanaman yang digunakan adalah segitiga sama sisi, dengan jarak 9x9x9 m. Dengan sistem segi tiga sama sisi ini, pada arah Utara – selatan tanaman berjarak 8,82 m dan jarak untuk setiap tanaman adalah 9 m, jumlah tanaman 143 pohon/ha.

b.  Pembuatan Lubang Tanam
          Lubang tanam dibuat beberapa hari sebelum menanam. Ukurannya adalah 50x40x40 cm. Pada waktu menggali lubang, tanah bagian atas dan bawah dipisahkan, masingmasing di sebelah Utara dan Selatan lubang.
c.     Cara Penanaman
Penanaman dilakukan pada awal musim hujan, setelah hujan turun dengan teratur. Adapun tahapan penanaman sebagai berikut :
1. Letakkan bibit yang berasal dari polibag di masing-masing lubang tanam yang sudah dibuat.
2. Siram bibit yang ada pada polybag sehari sebelum ditanam agar kelembaban tanah dan persediaan air cukup untuk bibit.
 3. Sebelum penanaman dilakukan pemupukan dasar lubang tanam dengan menaburkan secara merata pupuk fosfat seperti Agrophos dan Rock Phosphate sebanyak 250 gr/lubang.
4. Buat keratan vertikal pada sisi polybag dan lepaskan polybag dari bibit dengan hati-hati, kemudian dimasukkan ke dalam lubang.
5. Timbun bibit dengan tanah galian bagian atas (top soil) dengan memasukkan tanah ke sekeliling bibit secara berangsur-angsur dan padatkan dengan tangan agar bibit dapat berdiri tegak.
6. Penanaman bibit harus diatur sedemikian rupa sehingga permukaan tanah polybag sama ratanya dengan permukaan lubang yang selesai ditimbun, dengan demikian bila hujan, lubang tidak akan tergenang air.
7. Pemberian mulsa sekitar tempat tanam bibit sangat dianjurkan.
e.  Teknik dan Cara penanaman
Masukkan bibit ke dalam lobang dengan hati-hati dan kantong plastik dibuka. Lobang ditimbun dengan tanah, tidak boleh diinjak-injak agar tidak terjadi kerusakan. Bibit yang tingginya lebih dari 150 cm, daunnya dipotong untuk mengurangi penquapan. Penanaman sebaiknya dilakukan pada awal musim penghujan.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan tanaman selingan ialah:
        Tanaman itu memberi keuntungan dalam masa tiga tahun. Tanaman itu tidak mengganggu kesuburan pohon kelapa sawit dari segi zat-zat pemakanan, air dan cahaya matahari. Ada pasaran atau mudah memasarkan hasil tanaman selingan itu.
Tabel 1.   Karakteristik Hubungan Sistem Usahatani dengan Pemanfaatan Teknologi Pertanian.
Variabel
Subsisten
Integrasi
Semi Komersial
Komersial
Input
Semuanya diusahakan sendiri
Campuran antara diusahakan sendiri dan dibeli dari tetangga
Dibeli di pasar atau kios, sudah memiliki standar/sertifikat
Dibeli di pasar dengan standar dan kualitas
Tenaga kerja
Semua tenaga kerja sendiri
Campuran antara dalam keluarga dan luar keluarga
Sebagian besar tenaga kerja luar (sewa/upah)
Luar dan mekanisasi
Penggunaan output
Untuk sendiri
Kebanyakan untuk sendiri, surplus dijual
Sebagian dipakai sendiri, surplus dijual
Dijual komersial
Diversifikasi
Tidak/belum ada
Ada namun terbatas
Ada
Spesialisasi
Kelembagaan
Tidak/belum dikenal atau tidak terlibat
Masih antar anggota/gotong royong kuat
Ada, perlu bantuan kredit dari lembaga keuangan
Mutlak diperlukan
Mekanisasi
Semuanya manual/hewan
Manual/tenaga ternak/mekanisasi
Sebagian mekanisasi
Sebagian besar atau seluruhnya mekanisasi
Tabel 1 menunjukkan bahwa sistem usahatani integrasi (mix farming), merupakan pengembangan dari sistem usahatani subsisten. Pada sistem integrasi  ini, ada upaya petani untuk menggunakan modal dalam pembelian input, penggunaan tenaga kerja luar keluarga dalam pengelolaan usaha, menjual kelebihan hasil usahatani, menerapkan perpaduan pemanfaatan tanaman dengan ternak, melibatkan kelompok tani/kelompok masyarakat dalam usaha, serta telah mengenal mekanisasi dalam skala kecil.

         Selain menghasilkan CPO sebagai komoditas utama, industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil samping yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, yakni serabut mesokarp (palm press fibre/PPF), lumpur sawit (palm sludge/PS), bungkil inti sawit (oil palm frond/OPF), dan pelepah sawit (oil palm trunk/OPT) yang diperoleh dari kebun kelapa sawit. Tabel 2 menampilkan komposisi produk dan hasil samping pabrik kelapa sawit dan potensi pemanfaatannya sebagai pakan ternak (Elisabeth dan Ginting, 2004).
Tandan Buah Segar (TBS)

Tandan kosong sawit (TKS) (23%)

PPF (13%)

Minyak sawit (20-22%)

Inti sawit (5%)

Cangkang (7%)

PS (2%, BK)

OPF (45-46%)

POS (2%, BK)
 Tabel  2.     Produk dan Hasil Samping dari Pabrik Kelapa Sawit (tulisan yang dimiringkan dalam kotak adalah bahan yang dapat digunakan sebagai pakan ternak). Untuk lebih jelasnya, hasil utama dan hasil ikutan perkebunan kelapa sawit (Wijono et al, 2004) adalah sebagai berikut:
  1. Produk utama kelapa sawit
-         Crude Palm Oil (CPO) adalah minyak buah kelapa sawit.
-         Palm Kernel Oil (PKO) adalah minyak inti biji sawit.
  1. Produk hasil ikutan pengolahan kelapa sawit
-         Palm Press Fibre (PPF) adalah serat buah sawit merupakan sisa perasan buah sawit.
-         Palm Sludge (PS) adalah lumpur sawit merupakan cairan sisa pengolahan minyak sawit.
-         Palm Kernel Cake (PKC) adalah bungkil kelapa sawit berupa sisa ekstraksi inti sawit.
  1. Produk perkebunan kelapa sawit
-         Oil Palm Fronds (OPF) adalah pelepah daun sawit berupa bagian dalam pangkal batang daun kelapa sawit.
-         Empty Fruits Bunch (EFB) adalah tandan buah kosong atau tandan yang dikastrasi atau tidak berbiji.
  1. Produk lahan perkebunan
-         Produk Hijauan Antar Tanaman (HAT) adalah vegetasi di lahan perkebunan (leguminosa, semak, ilalang, rumput lapangan).
Komposisi nutrisi produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit disajikan pada Tabel 3.
 Tabel 3.      Komposisi Nutrisi Produk Samping Tanaman dan Pengolahan Kelapa Sawit.
Bahan/Produk Samping
Bahan Kering (%)
Abu
Protein Kasar
Serat Kasar
Lemak (% BK)
BETN
Ca
P
GE (Kal/g)
Pelepah
26,07
5,10
3,07
50,96
1,07
39,82
0,96
0,08
4,841
Bungkil inti sawit
91,83
4,14
16,33
36,68
6,49
28,19
0,56
0,84
5,178
Serat perasan
93,11
5,90
6,20
48,10
3,22
-
-
-
4,684
Tandan kosong
92,10
7,89
3,70
47,93
4,70
-
-
-
-
Sumber: Mathius et al (2005).
Menurut Ruswendi et al (2006), pemberian pakan solid (lumpur sawit yang dikeringkan) 1,3 kg/ekor/hari dan pelepah daun kelapa sawit 1,5 kg/ekor/hari memperlihatkan produktivitas Sapi Bali yang digemukkan hampir mencapai 2 kali lebih baik daripada Sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan, yakni masing-masing memperlihatkan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,267 kg/ekor/hari berbanding 0,139 kg/ekor/hari. Hal ini diperkuat oleh Sudaryono et al (2009), bahwa Sapi PO yang diberi pakan solid sebanyak 5 kg/ekor/hari dan hijauan memiliki pertambahan berat badan sebesar 0,378 kg/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan sapi yang mengkonsumsi pakan hijauan saja (0,199 kg/ekor/hari), disamping efisiensi tenaga kerja dalam mencari pakan hijauan mencapai 50%.
Selanjutnya Sudaryono et al (2009) menambahkan bahwa hasil pengamatan pada 6 ha tanaman kelapa sawit rakyat setelah 6 bulan perlakuan pemberian pupuk (SP-36, KCl dan Urea) sebanyak 70% dari dosis anjuran dan kompos kotoran ternak sapi 20 kg/batang/tahun menunjukkan bahwa berat TBS rata-rata meningkat dari 9,3 kg menjadi 13,8 kg/tandan atau meningkat 48,2%.
Pupuk Makro
Urea
  1. Bulan ke 6, 12, 18, 24, 30 & 36
  2. Bulan ke 42, 48, 54, 60 dst
225 kg/ha
1000 kg/ha
TSP
  1. Bulan ke 6, 12, 18, 24, 30 & 36
  2. Bulan ke 48 & 60
115 kg/ha
750 kg/ha
MOP/KCl
  1. Bulan ke 6, 12, 18, 24, 30 & 36
  2. Bulan ke 42, 48, 54, 60 dst
200 kg/ha
1200 kg/ha
Kieserite
  1. Bulan ke 6, 12, 18, 24, 30 & 36
  2. Bulan ke 42, 48, 54, 60 dst
75 kg/ha
600 kg/ha
Borax
  1. Bulan ke 6, 12, 18, 24, 30 & 36
  2. Bulan ke 42, 48, 54, 60 dst
20 kg/ha
40 kg/ha

tabel 4. NB. : Pemberian pupuk pertama sebaiknya pada awal musim hujan (September - Oktober) dan kedua di akhir musim hujan (Maret- April).

POC NASA
a. Dosis
POC NASA mulai awal tanam :
0-36 bln
2-3 tutup/ diencerkan secukupnya dan siramkan sekitar pangkal batang, setiap 4 - 5 bulan sekali
>36 bln
3-4 tutup/ diencerkan secukupnya dan siramkan sekitar pangkal batang, setiap 3 – 4 bulan sekali
Tabel 5. Dosis pemberian POC NASA
b. Dosis POC NASA pada tanaman yang sudah produksi tetapi tidak dari awal memakaiPOC NASA
Tahap 1 : Aplikasikan 3 – 4 kali berturut-turut dengan interval 1-2 bln. Dosis 3-4 tutup/ pohon
Tahap 2 : Aplikasikan setiap 3-4 bulan sekali. Dosis 3-4 tutup/ pohon
Catatan: Akan Lebih baik pemberian diselingi/ditambah
SUPERNASA 1-2 kali/tahun dengan dosis 1 botol untuk + 200 tanaman. Cara lihat Teknik Penanaman (Point 3.2.3.)

Pelepah dan Daun Kelapa Sawit
Pelepah dan Daun Kelapa Sawit dapat dijadikan sebagai pakan berserat ternak ruminansia dengan cara dichopper (dicacah) terlebih dahulu dan dilayukan selama satu malam

Lumpur Sawit
Lumpur hasil agroindustri pengolahan kelapa sawit dapat dijadikan sebagai pengganti bekatul sampai 80% dengan cara melakukan pengeringan lumpur sawit dan digiling menjadi tepung

Serat Sawit
Serat buah kelapa sawit dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku pakan berserat dengan cara difermentasi. Proses fermentasi serat sawit sama dengan proses fermentasi jerami padi sebagai berikut :
Proses Fermentasi Serat Sawit :
1. Serat Sawit ditumpuk dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm pada sebuah wadah dari kayu dengan dinding papan yang tidak rapat (untuk sirkulasi udara) pada lokasi ternaungi
2. Diatas tumpukan tersebut diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat serat sawit), lumpur hasil samping agroindustri kelapa sawit sebanyak 5% dari total serat sawit dan atau Probiotik
3. Diatas tumpukan pertama diberi lagi serat sawit dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat serat sawit), lumpur hasil samping agroindustri kelapa sawit sebanyak 5% dari total serat sawit dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan adalah 1,5 meter)
5. Setelah terbentuk tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk lasti kadar air tumpukan min 60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba fermentor) Lakukan penutupan bagian atas tumpukan dengan karung lastic atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 – 21 hari
7. Setelah 14 – 21 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau diangin-anginkan sampai kering sebagai stok pakan atau dapat juga langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia
3.1.2. Cara Penanaman jagung di lahan Sawit
  Penanaman jagung pada lahan kering dapat dilakukan dua sampai tiga kali dalam setahun, dan intensitas tanam ini sangat tergantung pada jumlah dan distribusi curah sepanjang tahun. Usahatani jagung dilakukan secara monokultur dan intercropping denga tanaman tahunan seperti sawit, Pada saat ini pola tanam jagung secara monokultur pada lahan kering sudah berkurang karena areal penanaman jagung sudah banyak ditanami dengan tanaman tahunan yang mempunyai prospek yang lebih baik. Kondisi ini berdampak terhadap penurunan produksi dan produktivitas jagung pada masa yang akan datang. Salah satu contoh, di Kabupaten 50 Kota luas areal tanam dan areal panen serta produksi jagung setiap tahunnya tidak menunjukkan peningkatan, bahkan pada beberapa lokasi terjadi penurunan meskipun produktivitas sedikit meningkat. Terjadinya penurunan produksi jagung tidak hanya diakibatkan oleh luas areal tanam yang semakin sempit, tetapi juga akibat semakin meningkatnya usaha tani jagung panen muda yang dapat memberikan keuntungan yang lebih besar.
1.    Teknik Budidaya  
Pada lahan yang selalu ditanami jagung disepanjang musim tanam, teknik budidaya yang paling tepat adalah sistem TOT (Tanpa Olah Tanah), karena sistem ini dapat menghemat tenaga, biaya dan waktu serta dapat meningkatkan intensitas tanam  Persiapan lahan dilakukan dengan penyemprotan herbisida 10-15 hari sebelum panen, di saat panen gulma sudah mulai kering. Setelah panen, batang jagung dipotong dan disusun sejajar dengan tanaman sebelumnya. Kemudian lobang tanaman dibuat disamping bumbun tanaman sebelumnya dengan Jarak antar lobang tanam mengikuti rekomendasi yaitu 80x40 cm, 2 benih/lobang atau 80x20 cm, 1 benih/lobang.
Intercropping dengan Tanaman Tahunan, Dewasa ini penanaman jagung dengan pola monokultur sudah mulai berkurang karena sudah banyak yang intercropping dengan komoditas tanaman tahunan seperti sawit,. Bahkan pada suatu areal pertanaman jagung sudah ditanami dengan beranekaragam tanaman tahunan. Di areal   Prima Tani koto Baru Simalanggang Kabupaten 50 Kota terdapat beberapa jenis tanaman tahunan seperti kelapa, kakao, pisang, rambutan dan durian. Pada areal tersebut penanaman jagung tetap dilakukan sepanjang musim tanam selagi faktor iklim dan lingkungan masih mendukung. Pola semacam ini hanya dapat bertahan sampai tajuk tanaman tahunan sudah mulai mencapai permukaan tanah. Dari hasil pengamatan langsung di lapangan terlihat bahwa rata-rata beberapa varietas jagung yang ditanam dengan sistem pola tanam campuran kelapa sawit masih berkisar antara 3,12 sampai 3,88 t/ha. Hasil tertinggi dicapai oleh jagung hibrida Pioneir 12 (3,89 t/ha) yang berarti masing-masing varietas dapat memberikan hasil diatas 3 t/ha. Hasil yang terendah ini antara lain disebabkan proporsi sudah semakin sempit sehingga populasi tanaman persatuan tidak optimal ditambah lagi persaingan antar tanaman sudah semakin berat, terutama dalam pengambilan unsur hara, air, cahaya dan tata ruang.
2.    Lubang Tanam dan Cara Tanam
Lubang tanam ditugal, kedalaman 3-5 cm, dan tiap lubang hanya diisi 1 butir benih. Jarak tanam jagung disesuaikan dengan umur panennya, semakin panjang umurnya jarak tanam semakin lebar. Jagung berumur panen lebih 100 hari sejak penanaman, jarak tanamnya 40x100 cm (2 tanaman /lubang). Jagung berumur panen 80-100 hari, jarak tanamnya 25x75 cm (1 tanaman/lubang). Panen <>E. Pengelolaan Tanaman
3.    Penjarangan dan Penyulaman
Tanaman yang tumbuhnya paling tidak baik, dipotong dengan pisau atau gunting tajam tepat di atas permukaan tanah. Pencabutan tanaman secara langsung tidak boleh dilakukan, karena akan melukai akar tanaman lain yang akan dibiarkan tumbuh. Penyulaman bertujuan untuk mengganti benih yang tidak tumbuh/mati, dilakukan 7-10 hari sesudah tanam (hst). Jumlah dan jenis benih serta perlakuan dalam penyulaman sama dengan sewaktu penanaman.
4.  Penyiangan
Penyiangan dilakukan 2 minggu sekali. Penyiangan pada tanaman jagung yang masih muda dapat dengan tangan atau cangkul kecil, garpu dll. Penyiangan jangan sampai mengganggu perakaran tanaman yang pada umur tersebut masih belum cukup kuat mencengkeram tanah maka dilakukan setelah tanaman berumur 15 hari.
          5.  Pembumbunan
Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan untuk memperkokoh posisi batang agar tanaman tidak mudah rebah dan menutup akar yang bermunculan di atas permukaan tanah karena adanya aerasi. Dilakukan saat tanaman berumur 6 minggu, bersamaan dengan waktu pemupukan. Tanah di sebelah kanan dan kiri barisan tanaman diuruk dengan cangkul, kemudian ditimbun di barisan tanaman. Dengan cara ini akan terbentuk guludan yang memanjang.
6. Pengairan dan Penyiraman
Setelah benih ditanam, dilakukan penyiraman secukupnya, kecuali bila tanah telah lembab, tujuannya menjaga agar tanaman tidak layu. Namun menjelang tanaman berbunga, air yang diperlukan lebih besar sehingga perlu dialirkan air pada parit-parit di antara bumbunan tanaman jagung.
    7. Pemupukan
Tabel 6. Dosis pupuk makro untuk jagung




Waktu

Dosis Pupuk Makro (per ha)




Dosis POC
NASA

Urea (kg)

TSP (kg)

KCl (kg)

Perendaman benih
-
-
-

2 - 4 cc/ lt air

Pupuk dasar
120
80
25

20 - 40 tutup/tangki
( siram merata )

2 minggu
-
-
-

4 - 8 tutup/tangki
( semprot/siram)

Susulan I (3 minggu)
115
-
55


-

4 minggu
-
-
-

4 - 8 tutup/tangki
( semprot/siram )

Susulan II (6minggu)
115
-
-

4 - 8 tutup/tangki
( semprot/siram )

3.1.3. Integritas Sapi dengan Sawit

Peternakan sapi di sekitar perkebunan kelapa sawit dimulai dalam bentuk penggembalaan bebas untuk memanfaatkan ketersediaan hijauan berbentuk gulma di bagian bawah tanaman kelapa sawit. Awaludin dan Masurni (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2002, terdapat 214 perkebunan kelapa sawit di Malaysia telah melaksanakan sistem integrasi dengan 127.589 ekor sapi dalam program pengendalian hama terpadu pada kebun kelapa sawit. Hasilnya, usaha penggemukan sapi dapat menekan perkembangan gulma sampai 77% sehingga dapat menghemat biaya pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit.
Dalam proses pengolahan minyak sawit (CPO) dihasilkan limbah cairan yang sangat banyak, yaitu sekitar 2,5 m3/ton CPO yang dihasilkan. Limbah ini mengandung bahan pencemar yang sangat tinggi, yaitu. ‘biochemical oxygen demand’ (BOD) sekitar 20.000‑60.000 mg/l (Wenten, 2004). Pengurangan bahan padatan dari cairan ini dilakukan dengan menggunakan suatu alat decanter, yang menghasilkan solid ‘decanter atau lurnpur sawit. Bahan padatan ini berbentuk seperti lumpur, dengan kandungan air sekitar 75%, protein kasar 11‑14% dan lemak kasar 10‑14%. Kandungan air yang cukup tinggi, menyebabkan bahan ini mudah busuk. Apabila dibiarkan di lapangan bebas dalam waktu sekitar 2 hari, bahan ini terlihat ditumbuhi oleh jamur yang berwarna kekuningan. Apabila dikeringkan, lumpur sawit berwarna kecoklatan dan terasa sangat kasar dan keras. Banyak penelitian telah dilaporkan tentang penggunaan lumpur sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia maupun non‑ruminansia. Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada ternak sapi, pemberian lumpur sawit yang dicampur dengan bungil inti sawit dengan perbandingan 50:50 adalah yang terbaik untuk pertumbuhan sapi. Dilaporkan bahwa sapi droughtmaster yang digembalakan di padang penggembalaan rumput Brachiaria decumbens hanya mencapai pertmbuhan 0,25 kg/ekor/hari, tetapi dengan penambahan lumpur sawit yang dicampur dengan bungkil inti sawit, mampu mencapai pertmbuhan 0,81 kg/ekor/hari. keuntungan integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah diperolehnya output tambahan yaitu lebih banyak produksi TBS dan Crude Palm Oil (CPO) akibat pupuk organik, penghematan biaya pembuatan kolam limbah pabrik kelapa sawit, penghematan biaya transportasi TBS, penghematan biaya pupuk karena menggunakan pupuk organik sendiri, penghematan pembuatan dan pemeliharaan jalan, pertambahan bobot hidup sapi dengan biaya murah karena pakan limbah yang murah, dan kebersihan lingkungan.  Peternakan sapi di sekitar perkebunan kelapa sawit dimulai dalam bentuk penggembalaan bebas untuk memanfaatkan ketersediaan hijauan berbentuk gulma di bagian bawah tanaman kelapa sawit. Awaludin dan Masurni (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2002, terdapat 214 perkebunan kelapa sawit di Malaysia telah melaksanakan sistem integrasi dengan 127.589 ekor sapi dalam program pengendalian hama terpadu pada kebun kelapa sawit. Hasilnya, usaha penggemukan sapi dapat menekan perkembangan gulma sampai 77% sehingga dapat menghemat biaya pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit.
Beberapa hasil penelitian integrasi sapi dengan kelapa sawit yang secara garis besar menguntungkan petani/peternak maupun pemilik perkebunan kelapa sawit. Mengapa integrasi ini perlu dan mendesak untuk dilakukan di perkebunan kelapa sawit, Chaniago (2009) menguraikan beberapa alasan tentang hal tersebut sebagai berikut:
a.   Hambatan utama pengembangan populasi sapi adalah pakan yang cukup dan berkualitas, sedangkan agribisnis kelapa sawit dapat menyediakan pakan sapi berkualitas lebih dari cukup. Integrasi sapi dalam kawasan kebun sawit akan dapat mendorong pencapaian swasembada daging dalam waktu yang relatif singkat.
b.   Integrasi menggunakan lahan usahatani yang semakin terbatas secara lebih efisien. Satu lokasi lahan dapat digunakan untuk beberapa komoditi pertanian.
c.   Lahan pertanian sudah sangat lelah (fatique soil), miskin akan bahan organik, sehingga sulit untuk mempertahankan produktivitasnya. Dengan adanya sapi di kawasan kebun sawit, maka faeces sapi bersama dengan tandan kosong sawit, limbah organik lainnya, dan limbah cair pabrik kelapa sawit bisa diolah menjadi pupuk organik untuk memupuk kelapa sawit sehingga kesuburan lahan dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan untuk meningkatkan produksi TBS.
d.   Untuk meningkatkan kelenturan dan efisiensi usaha bila terjadi kegoncangan harga TBS seperti yang terjadi beberapa kali, terakhir terjadi pada akhir tahun 2008 dan awal 2009. Hasil usaha ternak sapi yang harganya selalu meningkat bisa meningkatkan neraca usaha. Saat ini dalam persaingan yang semakin ketat dalam usaha agribisnis kelapa sawit, usaha integrasi dapat membantu keberlangsungan agribisnis kelapa sawit.
e.   Telah terlihat trend yang sangat kuat peningkatan permintaan akan bahan pangan organik, maka permintaan dan penggunaan pupuk organik akan semakin meningkat. Pupuk organik yang dihasilkan dapat digunakan sendiri dan kelebihannya dapat dijual untuk memenuhi permintaan pasar yang memberikan tambahan pendapatan. Dengan penggunaan pupuk organik sepenuhnya maka produksi CPO menjadi bahan pangan organik yang diminati oleh konsumen.
http://htmlimg4.scribdassets.com/339c8lu4zkl3wk7/images/12-1511845f83.jpgf.    Harga pupuk anorganik terus meningkat, ketersediaannya semakin terbatas dan banyak terjadi pemalsuan pupuk, sehingga dengan pupuk organik ketersediaan pupuk akan terjamin baik kualitas maupun suplainya yang harganya relatif lebih murah dibanding pupuk anorganik.
 Usaha yang dipakai dalam menerapkan pertanian terpadu adalahdengan menggabungkan dua subsistem utama yaitu peternakan dan pertanian.Pada bidang peternakan, di lahan ini terdapat sekitar 17 ekor sapi yangkebanyakan sapi impor dari Australia dan hanya beberapa yang berjenislokal. Menurut pemiliknya, kondisi sapi yang berjenis impor kurang bagus dalam berproduksi di daerah tersebut karena ada ketidak cocokan lingkungan di daerah ini.Analisis input pada peternakan ini adalah kebutuhan pakan sapisebanyak 50 kilogram per hari. Pakan yang diberikan pada sapi peternakantersebut adalah jerami dan shorgum. Terkadang untuk menambah nutrisi pakan jerami biasanya ditambah dengan pakan konsentrat berupa campuran jagung giling dan katul. Jagung giling dapat di ganti dengan ubi kayu.Pemberian konsentrat tersebut sebanyak 1% dari berat bobot pakan. Karenakebutuhan pakan yang cukup banyak, terkadang input dari dalam belummampu memenuhi sehingga sebagian kebutuhan mendatangkan pakan dariluar. Sedangkan air tidak terlalu diperhitungkan karena sapi biasanyamendapatkan air dari campuran pakan yang telah diberikan.Analisis output dari peternakan berupa pupuk kandang berupa urin danfeces yang dihasilkan oleh sapi. Dalam satu tahun sapi dapat menghasilkan pupuk kandang sekitar 5,4 ton dengan rincian tiap hari menghasilkan 15kilogram kotoran. Dikaitkan dengan kebutuhan lahan, informasi yang didapat bahwa sejumlah lima ekor sapi mampu mencukupi kebutuhan pupuk organik selama satu tahun. Agar kotoran dapat menjadi pupuk kandang biasanyadiakukan dekomposisi selama 4 bulan agar pupuk kandang dapat langsungdigunakan pada lahan pertanian. Selain output dari hasil pupuk kandang, peternakan tersebut juga mendapatkan output dari hasil penjualan ternak.Pemilihan sapi sebagai subsistem utama pertanian terpadu tersebut sangattepat. Sapi dapat digunakan sebagai sumber pemenuh kebutuhan hara bagi pertanian lain. Sebagai pertimbangan bahwa pada tahun pertama pertaniantersebut memiliki 5 ekor sapi, kemudian pada tahun kedua dan ketiga berturut-turut sebanyak 10 dan 15 ekor. Meningkat di tahun ke 4 berjumlah
 17 ekor. Dari ke 17 ekor sapi itu terdiri dari jenis Simental, Limousin danBerangus. Dari jumlah tersebut sapi dapat dijual sebagian untuk membantu pemasukan petani. Sisanya berjumlah 8 ekor sapi tetap dipertahankan untuk  pemenuhan kebutuhan hara dan investasi petani ke depan. Keunggulanlainnya adalah sapi dapat berkembang biak dalam waktu yang singkat.Pemeliharaan sapi dengan penggemukan hanya dengan waktu pemeliharaan8-12 bulan.Hasil pupuk kandang dari peternakan yaitu dalam satu hektar lahan pertanian tersebut dapat dicukupi kebtutuhan haranya oleh lima ekor sapi.Satu ekor sapi dapat memproduksi 15 kilogram kotoran tiap hari sehinggadalam setahun dapat mencapai 5, 4 ton kotoran yang dimanfaatkan sebagai pupukOutput yang dihasilkan adalah hasil pertanian utama seperti untuk tanaman jagung dapat menghasilkan kira–kira 4-5 ton selama 3 tahun, denganharga jual Rp 2000/kilogram.
Limbah sawit yang dimaksud adalah bungkil kelapa sawit (BKS) yang merupakan hasil ikutan atau limbah dari pembutan minyak kelapa sawit. Komposisi kimianya sangat bergantung pada keadaan buah dan biji yang digunakan dalam proses pengolahan minyak kelapa sawit. BKS ini merupakan salah satu yang biasa digunakan dalam ransum untuk ternak, seperti sapi,BKS ini mudah menjadi tengik, terlebih apabila masih mengandung banyak lemak. Secara kimiawi BKS ini memiliki kandungan protein berkisar 17%, kandungan lisin dan methionin relatif rendah dibandingkan dengan sumber protein nabati lainnya, serat kasar tinggi dan kemungkinan sulit dicerna oleh ikan. Proses Fermentasi.
Untuk meningkatkan kualitas BKS dilakukan proses fermentasi. Dari kegiatan ini diharapkan kandungan seratnya dapat dirombak ke dalam bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat dicerna oleh ikan, kandungan proteinnya dapat meningkat. Dalam proses fermentasi ini akan menggunakan sumber mikroba dan enzim fermentasi dari isi perut hewan ruminansia, yaitu dari isi perut domba atau sapi.
Isi perut tersebut disaring, diambil cairannya kemudian dicampur dengan bungkil sawit. Jumlah cairan bibit fermentasi sekitar 10-30%. Campuran bahan tersebut kemudian ditambahkan air agar proses pengadukannya merata dan selanjutnya dimasukkan dalam tong plastik. Untuk mempertahankan suhu media, lingkungan disekitarnya dilengkapi dengan sekam padi. Selama proses fermentasi dilakukan pengecekan terhadap suhu dan pH media yang dilakukan pada awal, pekanan dan akhir proses fermentasi. Lama proses fermentasi ini berkisar 3-4 minggu.
Alas kandang yang telah tercampur dengan kotoran sapi, dipindahkan ketempat pembuatan pupuk organik. Tempat pemrosesan pupuk organik harus dijaga  tidak mendapatkan panas langsung dari sinar matahari, dan juga harus terlindung dari air hujan. Manure tersebut dicampur dengan probion dengan imbangan 2,5 kg probion, 2,5 kg urea dan 2,5 kg TSP untuk setiap ton bahan pupuk, selanjutnya ditumpuk pada tempat yang telah disiapkan sehingga mempunyai ketinggian 1 meter. Campuran tersebut didiamkan selama kurang lebih 21 hari  dengan pembalikan dilakukan setiap minggu. Untuk mendapatkan partikel pupuk organik yang relatif sama dilakukan pengeringan dengan sinar matahari secukupnya, kemudian digiling dan dilanjutkan dengan penyaringan secara fisik.  Pupuk organik yang sudah siap disimpan dalam kantong plastik (ukuran tergantung pada tujuan pengepakan) dan selanjutnya siap untuk digunakan.
3.1.4. Cara Perikanan Ikan Lele di Lahan Sawit
Persiapan untuk budi daya lele dumbo dengan kolam terpal dilahan kebun sawit meliputi persiapan lahan kolam , persiapan material terpal ,dan persiapan perangkat pendukung. Lahan yang perlu disediakan disesuaikan dengan keadaan dan jumlah lele yang akan dipelihara. Untuk Pembesaran sampai tingkat konsumsi bisa digunakan lahan dengan ukuran 4x 3 x 1 meter, yang bisa diisi dengan 100 ekor lele dumbo ukuran 5-7 cm. Model pembuatan kolam bisa dengan menggali tanah kemudian diberi terpal atau dengan membuat rangka dari kayu yang kemudian diberi terpal. Cara pertama lebih membuat terpal tahan lebih lama. Kolam ikan dengan menggunakan terpal merupakan salah satu alternatif yang efektif yang di terapkan dilahan perkebunan sawit. bagi para petani sawit untuk membuat suatu kolam ikan lele dengan biaya yang relative murah dan dalam pembuatan kolam terpal di lahan perkebunan sawit sebaiknya kolam terpal berada dekat dengan kandang sapi.
Cara pembuatan :Cari posisi tanah yang langsung terkena sinar matahari dan cukup luas untuk pembuatan kolam.Gali tanah sesuai dengan luas kolam yang anda inginkan dengan kedalaman ± 50 cm.Tanah hasil galian tadi digunakan untuk tanggul di sisi kolam dan dipadatkan supaya tanggul tersebut kuat lalu permukaan tanggul diberi batako / bata merah supaya permukaannya rata.Setelah penggalian selesai, selanjutnya dasar kolam diberi sekam secar merata.Terpal siap dipasang dan diisi air.Diatas terpal diberi batako / bata merah lagi supaya aman dan rapi.
Setelah semua bahan tersedia, terlebih dulu ratakan tanah yang akan di pakai untuk mendirikan kolam terpal, jangan sampai ada benda tajam di atasnya. Lalu dirikanlah patok di empat sudut berbeda dengan ukuran panjang 4 meter dan lebar 3 meter. Kemudian pasang belahan bambu 4,2 meter untuk panjangnya dengan menggunakan paku, dan belahan bambu 3,2 meter untuk lebarnya. Pasang agak merapat agar rangka kolam kuat. Setelah semua terpasang, maka terpal dapat dipasang membentuk segi empat di dalam rangka tersebut. Ujung terpal di ikat kuat-kuat dengan kawat ke patok. Karena nantinya terpal akan diisi air, maka pastikan rangka kolam terpasang dengan kuat.
Parameter Uji
Dalam kegiatan ini sebagai parameter uji adalah :Bobot badan ikan akan diamati setiap pekan. Sampling dilakukan terhadap 50 ekor ikan per kolam.
Persentase penambahan berat badan ikan
dihitung dengan rumus:
((Wt2 – Wt1) / Wt1) X 100%
Wt1 : berat badan ikan di awal
Wt2 : berat badan ikan di akhir.
x     Spesific growth rate (%) dihitung dengan rumus: SGR = (log berat badan akhir – log berat badan
awal/lama hari pemeliharaan x 100) x     Survival rate (SR) dihitung dengan rumus: SR = N/No x 100%
N : jumlah ikan pada akhir uji
No : jumlah pada awal uji
Feed conversion ratio (FCR) :
¦Ft1,2 / (Wt2 – Wt1)
¦Ft1,2 adalah jumlah pakan yang diberikan selama masa pemeliharaan
Data kualitas air : Sebagai data tambahan, kualitas air selama pemeliharaan ikan akan dicatat, yaitu pada awal, pertengahan dan akhir. Parameter yang diamati adalah suhu, oksigen, pH, CO2, Alkalinitas dan NH3.
         Perekayasaan ini sudah mengindikasikan bahwa limbah bungkil sawit dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk untuk pakan ikan. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan pertumbuhan dan memberikan FCR sebesar 2,19 pada ikan nila yang diberi pakan BKS. Selain itu harga pakan jauh lebih murah dibanding dengan pakan dengan menggunakan bahan baku bungkil kedelai. Harga pakan per kg untuk pakan BKS sebesar Rp 3160,-, BKSf Rp 3190,- dan BK Rp 4240,-.
       Dari hasil analisis proksimat (Tabel 7) kandungan protein bungkil sawit fermentasi menunjukkan sebesar 22,76%, bungkil sawit tanpa fermentasi 17,45%, bungkil kedelai 43,5%. Sedangkan kandungan protein sudah dlalam bnetuk peletnya adalah sebagai berikut : BKSf 23,85%, BKS 22,18% dan BK 29,34%. Dari kandungan protein ini terlihat bahwa bungkil kedelai demikian pula halnya pelet yang berbasis bungkil kedelai merupakan yang tertinggi sehingga wajar akan memberikan pertumbuhan dan FCR yang paling baik terhadap pertumbuhan ikan nila, karena yang menopang untuk pertumbuhan sangat bergantung pada kandungan protein pakan. Bungkil sawit fermentasi dan BKSfnya kandungan proteinnya lebih baik dibandingkan dengan bungkil sawit tanpa fermentasi dan BKS, namun terhadap pertumbuhan ikan nila ternyata yang lebih baik adalah ikan nila yang diberi pakan BKS. Hal ini dimungkinkan karena protein dalam BKSf walaupun tinggi namun sudah terhidrolisis pada proses fermentasi sehingga protein yang tinggi ini tidak cukup signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan, karena proteinnya kemungkinan kurang tercerna oleh ikan.
Tabel 7. Hasil Analisa Proksimat Limbah Bungkil Sawit, Magot dan Pelet untuk Kegiatan Perekayasaan
BAHAN BAKU/PELET
KANDUNGAN PROKSIMAT
(%)
AIR
ABU
PROTEIN
LEMAK
SERAT
BETN
Bungkil sawit fermentasi
1.13
10.18
22,51
2.25
20.80
43.13
Pelet BKSf
12.01
23.66
20,99
11.75
8.24
23.35
Bungkil sawit
8.75
7.32
15.93
19.66
8.89
39.45
Pelet BKS
3.25
9.77
21.46
8.83
8.25
48.44
Pelet BK
8.96
13.83
26.71
8.92
9.20
32.38
Tepung Magot
11.10
14.30
40.01
14.92
19.53
0.14
Dalam bobot kering (kandungan air 0%)
Bungkil sawit fermentasi
0
0
10.30
22.76
2.28
21.04
43.62
Pelet BKSf
0
0
26.88
23.85
13.35
9.36
26.56
Bungkil sawit
0
0
8.02
17.45
21.55
9.74
43.24
Pelet BKS
0
0
10.10
22.18
9.13
8.53
50.06
Pelet BK
0
0
15.19
29.34
9.80
10.10
35.57
Tepung Magot
0
0
16.09
45.01
16.78
21.97
0.15
Tabel 8. Pemberian Magot dan Pakan Buatan pada Ikan Lele
selama 2 Bulan (60 Hari) dalam Kolam
TANAM
PANEN
¦ PAKAN (G)
SGR
MINGGU
GRAM
EKOR
GRAM
EKOR
MAGGOT
(GRAM)
PELLET
(GRAM)
SR
(%)
FCR
(%)
% W
Magot 1
17100
2000
77100
1695
90600
0
84.75
1.51
18.34
350.88
Magot 2
18000
2000
70000
1600
90100
0
80.00
1.73
18.10
288.89
rata-rata
17550
2000
73550
1647.5
90350
0
82.38
1.62
18.22
319.89
M + P 1
19000
2000
83000
1500
37500
37500
75.00
1.17
18.44
336.84
M + P 2
19500
2000
84500
1600
37050
37050
80.00
1.14
18.47
333.33
rata-rata
19250
2000
83750
1550
37275
37275
77.50
1.16
18.46
335.09
Pelet 1
20000
2000
62200
1047
0
70850
52.35
1.68
17.75
211.00
Pelet 2
20000
2000
82300
1501
0
72250
75.05
1.16
18.40
311.50
rata-rata
20000
2000
72250
1274
0
71550
63.70
1.42
18.08
261.25
Keterangan : M + P = Pakan dalam bentuk magot dan pelet (50%)
Hasil perekayasaan ini apabila dibandingkan dengan dengan hasil penelitian Ng et al. (2004) hasilnya belum bisa menyamai. Dari hasil proses fermentasi bungkil sawit menggunakan Trichoderma sp yang dilakukan oleh Ng et al. (2004), mampu meningkatkan kandungan protein kasar dari 17% menjadi 32%. Perbedaan ini kemungkinan dari proses fermentasi yang dilakukan oleh BBPBAT masih belum sempurna, sehingga untuk kedepan perlu dilakukan kajian dalam proses fermentasi bungkil sawit sehingga diperoleh prosedur yang standar dengan hasil yang maksimal.
Dari hasil perekayasaan pemberian magot, dibandingkan dengan pelet dan campuran magot dan pelet (Tabel 8) menunjukkan bahwa ikan lele dumbo yang diberi pakan campuran magot dan pelet, masing­masing 50% jauh lebih baik pertumbuhan dan FCR dibanding dengan magot atau pelet saja. Selanjutnya diikuti oleh ikan yang diberi pelet dibanding dengan magot saja. Adapun pelet yang digunakan adalah pakan komersial dengan kandungan protein diatas 35%, yaitu pakan udang windu.
Pengaruh positif pemberian kombinasi magot dan pelet terhadap pertumbuhan dan FCR pada ikan lele dumbo, diduga oleh peran enzim pencernaan yang terdapat dalam magot sehingg protein pakan akan semakin mudah dicerna dan diserap oleh tubuh ikan yang selanjutnya akan berdampak terhadap cepatnya pada pertumbuhan dan pakan akan semakin efisien. Kemungkinan lain akan semakin lengkapnya komposisi asam amino esensial antara yang ada dalam pelet dengan magot sehingga saling sinergi sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan dan FCR.
Tabel 9. Hasil Pengukuran Kualitas Air dalam Wadah Uji Pakan Lele  dalam Kolam Terpal Plastik
PARAMETER
JAM
STASIUN
SUHU
(°C )
PH
O2
(mg/l)
CO2
(mg/l)
ALK
(mg/l)
NH3
(mg/l)
NO2
(mg/l)
08.00
Bak terpal
25.4
7.50
4.15
24.60
112.50
0.96
0.174
24.8
7.17
1.91
13.70
81.04
0.70
0.104
24.0
6.7
0.7
11.0
49,79
2.6
0.2
Rataan
24.73
7,12
2,25
16,43
81.11
1.42
0,159
Baku mutu
25-30
6,5-8,5
> 4
< 12
50-300
< 1
< 0,06
Kultur Magot
Magot merupakan salah proses biokonversi, dari bahan organik nabati dirubah menjadi organik hewani dengan kandungan protein cukup tinggi. Magot yang dibudidaya berasal dari larva insekta black solder, Hermetia illucens. Insekta ini banyak ditemukan dari daerah tropis hingga subtropis. Ukuran dewasa hidup ditanaman rerumputan dan sari bunga sebagai sumber makanannya.
BKS fermentasi disimpan dalam wadah jolang, fibre glas atau bak semen, ditebar secara merata. Dalam tempo seminggu biasanya sudah ditemukan larva magot. Larva tersebut bisa dipelihara dalam wadah sebelumnya atau dikumpulkan untuk dipelihara dalam wadah lain, dengan setiap hari diberi makanan berupa BKS fermentasi. Magot usia 10-14 hari sudah bisa dipanen. Caranya dengan cara memisahkan magot dari substrat, kemudian dicuci. Magot ini bisa dilangsung diberikan ke ikan sebagai pakan, disimpan dalam freezer atau dibuatkan dalam bentuk tepung.
Prosedur pembuatan pakan sebagai berikut :
  • Bahan pakan ditimbang sesuai dengan formula, kemudian diproses dengan menggunakan mesin untuk dijadikan pele
  • ·Pakan yang sudah berbentuk pelet dikemas agar tidak mudah rusak dan tidak terkontaminasi.
  • ·Pakan selanjutnya dilakukan analisa proksimat di laboratorium
Pengujian pakan dilakukan di kolam  dengan prosedur sebagai berikut:
  • Menyiapkan wadah berupa jaring ukuran (6 x 6 x 3)m sebanyak 6 buah. Tiap wadah diisi ikan lele sebanyak 50 kg dengan jumlah ekor kurang lebih 1.500-2.000 ekor.
  • Untuk melihat bobot dan panjang standar individu ikan pada saat penebaran, dilakukan pengukuran dan penimbangan pada setiap wadahnya dengan cara diambil sampel sebanyak 50 ekor.
  • Jumlah pakan diberikan setiap hari sebanyak 5-3% dengan frekuensi pemberian 3 kali
  • Pemeliharaan dilakukan selama 2-3 bulan.
  • Pada akhir pengujian dilakukan pengukuran terhadap bobot ikan setiap wadah dan penghitungan jumlah ekor, serta pada setiap wadah diambil 50 ekor untuk diukur panjang dan ditimbang bobot individu. Jumlah pakan selama pengujian dicatat.
Pemberian Magot Pada Ikan Lele dan Proses Pengujiannya
Ada tiga jenis pakan yang akan dilakukan pengujian pada pembesaran ikan lele , yaitu : magot 100% (A); magot 50% dan pakan formula lele 50% (B); dan pakan formula lele 100% (C). Setiap perlakuan akan dilakukan pengulangan sebanyak dua kali.
Jumlah pemberian pakan setiap harinya sebanyak 10-3%, dengan frekuensi pemberian 3 kali, yaitu pada pkl 08.00, 11.30 dan 16.00. Penyesuaian jumlah pakan dilakukan setiap 1 minggu sekali dengan menimbang ikan setiap wadahnya secara sampling sebanyak 50 ekor.
Wadah pemeliharaan digunakan bak terpal plastik berukuran 7×2,5×0,5 m sebanyak 6 buah. Tiap wadah ditebar benih lele  sebanyak kurang lebih 20 kg dengan jumlah sekitar 2000 ekor.
Untuk menghindari adanya kanibalisme oleh ikan lele yang memiliki pertumbuhan cepat sehingga ukurannya lebih besar, maka pada umur 1 bulan dilakukan pengecekan dan ukurannya yang lebih besar tersebut ditangkap, dihitung dan ditimbang serta dicatat pada setiap wadahnya.
 Lama pemeliharaan hingga mencapai ukuran konsumsi diperkirakan 75 hari. Pada akhir pemeliharaan dilakukan pemanenan total, semua ikan pada setiap wadah ditimbang dan dihitung, serta diambil 50 ekor untuk melihat bobot dan panjang individu.

Keterangan :
Pembutan kolam terpal ini akan lebih efektif dan efisien di mana air dikolam terpal tidak di hisap atau diserap oleh akar sawit sehingga air dalam kolam akan tetap stabil dan perkembangan ikan lele tidak terganggu, serta memudahkan perawatan dan dalam mengganti air pada kolam terpal tersebut.
 

I.                   KESIMPULAN

  1. Potensi pengembangan integrasi  kelapa sawit, sapi, jagung, dan ikan lelel  masih sangat besar ditinjau dari luas kebun kelapa sawit di Indonesia yaitu sekitar 7 juta ha.
  2. Integrasi  kelapa sawit, sapi, jagung, dan ikan lele dapat mendorong peningkatan populasi dan produktivitas peternakan, pertanian, perikanan  dan efisiensi usaha perkebunan sawit.
  3. Secara ekonomi, peningkatan populasi ternak sapi dapat mengurangi impor yang menghemat devisa negara, meningkatkan kelenturan agribisnis kelapa sawit dalam persaingan global.
  4. Sistem integrasi perkenunan  kelapa sawit, sapi, jagung, dan ikan lele memberikan tambahan pendapatan bagi petani peternak maupun pekebun dari hasil samping yang diperoleh (pakan, efisiensi tenaga kerja, penggunaan pupuk organik).
  5. Usahatani integrasi kelapa sawit, sapi, jagung dan ikan lele ramah lingkungan dan berkelanjutan.
  6. Salah satu solusi dalam mengatasi pencernaran lingkungan yang disebabkan fimbah pabrik sawit , dengan memanfaatkan limbah tersebut sebagai pakan ternak sapi.










Daftar Pustaka
 Awaludin, R. dan S.H. Masurni (2004). Systematic Beef Cattle Integration in Oil Palm Plantation with Emphasis The Utilization of Undergrowth. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 23-35.
 Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2009. Perspektif Daya Dukung Lahan Pertanian dan Inovasi Teknologi dalam Sistem Integrasi Ternak Tanaman Berbasis Sawit, Padi dan Kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Chaniago, T. 2009. Perspektif Pengembangan Ternak Sapi di Kawasan Perkebunan Sawit. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
 Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Kebijakan Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
 Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I.W. Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 11-22.
Elisabeth, J. dan S.P. Ginting, 2004. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 110-119.
 Handaka, A. Hendriadi, dan T. Alamsyah. 2009. Perspektif Pengembangan Mekanisasi Pertanian dalam Sistem Integrasi Ternak – Tanaman Berbasis Sawit, Padi, dan Kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Luthan, F. 2009. Implementasi Program Integrasi Sapi dengan Tanaman Padi, Sawit dan Kakao di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor
Tanggal dwonlot : tanggal 24 November 2012 jam 19.30. tanggal 25 November 2012 jam 10.15, tanggal 30 November 2012 jam 20.15 tanggal 2 Desember 2012 jam 19.25.
                       






Tidak ada komentar:

Posting Komentar