I.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Integrasi kelapa sawit, tanaman jagung, sapi dan lele
merupakan suatu sistem usahatani tanaman perkebunan, pertanian,ternak dan
perikanan yang potensial dikembangkan di Indonesia karena didukung oleh luas
pertanaman kelapa sawit sekitar 7 juta hektar dan kesesuaian adaptasi ternak
sapi yang baik. Kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini belum swasembada dan
sebagian masih diimpor dapat ditingkatkan populasi dan produktivitasnya melalui
integrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Integrasi ini juga dapat meningkatkan
efisiensi usaha pada perkebunan kelapa sawit. Sinergi positif yang dapat
dicapai dari integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah dapat menjamin suplai
pakan bagi ternak sapi, penghematan penggunaan pupuk anorganik bagi tanaman
kelapa sawit dan penghematan tenaga kerja dalam pengangkutan TBS kelapa sawit
dan tenaga pencari rumput untuk pakan sapi. Dengan adanya integrasi,
permasalahan limbah ternak sapi dan limbah kegiatan agribisnis kelapa sawit
bukan saja dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali, namun juga memberikan
nilai tambah bagi seluruh pelaku usaha. Usahatani integrasi ternak sapi dengan
kelapa sawit ke depan juga dapat menyehatkan lahan-lahan pertanian melalui
pengembangan penggunaan pupuk organik dan dapat meningkatkan nilai tambah
produk CPO sebagai produk organik yang ramah lingkungan. Dengan integrasi
tersebut maka akan tercipta sentra pertumbuhan peternakan baru dimana komoditi
ternak dapat saja menjadi unggulan (solely) atau komoditi ternak hanya
sebagai penunjang (mix faming). Tetapi bisa saja terjadi, ternak yang
tadinya sebagai unsur penunjang kemudian secara bertahap menjadi unsur utama
atau sebalikya. Ikan yang digunakan untuk integrated
farming system adalah ikan air tawar yang dapat beradaptasi dengan
lingkungan air yang keruh, tidak membutuhkan perawatan ekstra, mampu
memanfaatkan nutrisi yang ada dan memiliki nilai ekonomis. Ikan yang sering
digunakan adalah ikan nila, gurami, mas, tambakan dan lele. Ikan dapat
dipeli-hara secara tunggal (monoculture) atau campuran (polyculture),
asalkan jenis yang dipelihara mempunyai kebiasaan makan berbeda agar tidak
terjadi perebutan pakan, misalnya ikan lele .Nutrisi untuk ikan berasal dari
jatuhan kotoran ternak yang kering dan sisa pakan ternak. Selain yang kering,
kotoran ternak yang jatuh ke kolam juga memacu perkembangan plankton yang
menjadi makanan ikan. Oleh karena itu, sebaiknya peternak juga memilih ikan
yang dapat memanfaatkan plankton di dalam kolam seperti ikan tambangan.
1.2.
Tujuan
a.
Untuk mendapatkan produk tambahan
yang bernilai ekonomis, peningkatan efisiensi usaha, peningkatan kualitas
penggunaan lahan, peningkatan kelenturan usaha menghadapi persaingan global,
dan menghasilkan lingkungan yang bersih dan nyaman.
b.
Diversifikasi penggunaan sumberdaya
c.
Mengurangi resiko usaha
d.
Efisiensi penggunaan tenaga kerja
e.
Efisiensi penggunaan input produksi
f.
Mengurangi ketergantungan energi
kimia
g.
Meningkatkan produksi
h. Pendapatan rumah tangga petani yang berkelanjutan
1.3.
Manfaat
a.
Integrasi sapi dengan kelapa sawit
dapat mendorong peningkatan populasi dan produktivitas sapi dan efisiensi usaha
perkebunan sawit.
b.
Secara ekonomi, peningkatan populasi
ternak sapi dapat mengurangi impor yang menghemat devisa negara, meningkatkan
kelenturan agribisnis kelapa sawit dalam persaingan global.
c.
Sistem integrasi kelapa sawit, jagung, sapi, dan lele
memberikan tambahan pendapatan bagi petani
pekebun sawit, jagung, sapid an lele dari hasil samping yang diperoleh
(pakan, efisiensi tenaga kerja, penggunaan pupuk organik).
d.
Usahatani integrasi kelapa sawit,
jagung, sapi, dan lele ramah lingkungan dan berkelanjutan.
II.
Tinjauan Pustaka
Perpaduan
sistem integrasi tanaman perkebunan, pertanian
perternakan dan perikanan,
dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antara kegiatan tanaman dan
ternak (resource driven) dengan tujuan daur ulang optimal dari
sumberdaya nutrisi lokal yang tersedia (Low External Input Agriculture
Sistem atau LEIAS). Sistem yang kurang terpadu dicirikan dengan kegiatan
tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan, tetapi tidak tergantung satu sama
lain (demand driven) karena didukung oleh input eksternal (High
External Input Agriculture Sistem atau HEIAS) (Dirjen Peternakan, 2009).
Menurut
Handaka et al (2009), sistem integrasi tanaman perkebuanan, pertanian,
perternakan dan perikanan adalah suatu
sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen
tanaman dan ternak dalam suatu kegiatan usahatani atau dalam suatu wilayah.
Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan
pendapatan petani dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Sistem
integrasi tanaman ternak dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah
merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumberdaya pertanian yang tuntas.
Diversifikasi
usahatani telah tumbuh dan berkembang di perdesaan, salah satunya bertujuan
untuk mengantisipasi resiko usaha dari kegagalan usahatani sejenis. Namun pola
integrasi (mix farming) belum banyak dilakukan atau dikenal oleh petani
skala kecil, karena umumnya pola usaha yang dilakukan adalah subsisten. Padahal
kesempatan untuk melakukan integrasi sangat besar ditinjau dari potensi lahan dan
ternak yang ada. Salah satu penyebabnya adalah penguasaan dan pemanfaatan
teknologi pertanian (Handaka et al 2009).
Usahatani
ternak sapi menghadapi tantangan penyusutan lahan sehingga produksi hijauan dan
hasil samping pertanian yang dapat dijadikan pakan sapi juga ikut berkurang.
Disisi lain, usahatani ternak sapi dituntut untuk terus memacu produksi untuk
memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang terus berkembang. Memacu produksi
melalui pemberian konsentrat tidaklah ekonomis, karena harganya terlalu mahal
dan terus naik, karena bahan bakunya sebagian diimpor dan bahan baku asal dalam
negeri bersaing dengan kebutuhan lain. Untuk menghadapi tantangan tersebut,
pengembangan usaha ternak sapi ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping
perkebunan, yang tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumberdaya
(Suharto, 2003).
Dukungan
perusahaan perkebunan swasta maupun pemerintah melalui sistem inti-plasma dapat
ikut mendukung usaha integrasi sapi dan tanaman perkebunan jika hal ini menjadi
salah satu perhatian perusahaan. Petani yang memiliki/merawat kebun dapat saja
mengintegrasikan kebunnya sebagai sumber pendapatan utama dengan ternak sapi
yang dibantu melalui kredit lunak oleh perusahaan perkebunan (bagi petani
plasma) maupun melalui program pemerintah (petani rakyat). Limbah tanaman
perkebunan yang melimpah dapat dijadikan pakan ternak sapi, sebaliknya ternak
sapi dapat menjadi tenaga kerja dan sumber pupuk organik bagi tanaman.
Melalui pola
di atas, efisiensi usaha perkebunan meningkat melalui pengurangan pupuk kimia
karena telah disubstitusi oleh pupuk organik yang dapat diolah dari kotoran
sapi serta biaya angkut menjadi lebih murah karena dapat menggunakan sapi
sebagai tenaga kerja, khususnya dari lokasi-lokasi kebun yang sulit dijangkau.
Efisiensi usaha ternak dapat ditingkatkan melalui penyediaan pakan yang
kontinyu dari limbah perkebunan, mudah dan murah diperoleh. Dengan demikian,
masalah limbah, baik dari ternak sapi maupun dari kebun/pabrik dapat teratasi.
Selanjutnya Siahaan et al (2009) menambahkan bahwa tanaman kelapa sawit
yang diintroduksi sejak tahun 1848 ke Indonesia, merupakan komoditas penting
bagi Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Bila daging sapi merupakan sumber
protein hewani, kelapa sawit merupakan sumber utama minyak dan lemak nabati
untuk pangan bagi penduduk Indonesia, Peternakan sapi di sekitar
perkebunan kelapa sawit dimulai dalam bentuk penggembalaan bebas untuk
memanfaatkan ketersediaan hijauan berbentuk gulma di bagian bawah tanaman
kelapa sawit. Awaludin dan Masurni (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2002,
terdapat 214 perkebunan kelapa sawit di Malaysia telah melaksanakan sistem
integrasi dengan 127.589 ekor sapi dalam program pengendalian hama terpadu pada
kebun kelapa sawit. Hasilnya, usaha penggemukan sapi dapat menekan perkembangan
gulma sampai 77% sehingga dapat menghemat biaya pengendalian gulma pada
perkebunan kelapa sawit.
Di Indonesia, Pusat Penelitian
Kelapa Sawit secara konservatif tidak menganjurkan penggembalaan, namun
perkandangan pada integrasi sapi dengan kelapa sawit. Hal ini karena mengganggu
pertanaman kelapa sawit seperti pengerasan tanah, kemungkinan sapi memakan
pelepah muda tanaman sawit yang belum menghasilkan, disamping itu produktivitas
sapi relatif rendah karena kurang terkendalinya kualitas dan kuantitas pakan
(Siahaan et al, 2009). Selain menghasilkan CPO sebagai komoditas utama,
industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil samping yang
potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, yakni serabut mesokarp (palm
press fibre/PPF), lumpur sawit (palm sludge/PS), bungkil inti sawit
(oil palm frond/OPF), dan pelepah sawit (oil palm trunk/OPT) yang
diperoleh dari kebun kelapa sawit. Gambar 2 menampilkan komposisi produk dan
hasil samping pabrik kelapa sawit dan potensi pemanfaatannya sebagai pakan
ternak (Elisabeth dan Ginting, 2004).
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Pola
Penanaman Polikurtur atau Intergritad Farming Sawit Tanaman Jagung, Sapi
dan Ikan Lele
3.1.1. Pola Penanaman Kelapa sawit
Pola tanam
kelapa sawit dapat monokultur ataupun tumpangsari dan polikultur. Pada pola
tanam monokulltur, sebaiknya penanaman tanaman kacang-kacangan (LCC) sebagai
tanaman penutup tanah dilaksanakan segera setelah persiapan lahan selesai.
Tanaman penutup tanah (legume cover crop atau LCC) pada areal tanaman kelapa
sawit sangat penting karena dapat memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan
biologi tanah, mencegah erosi, mempertahankan kelembaban tanah dan menekan
pertumbuhan tanaman pengganggu (gulma). Sedangkan pada pola tanam tumpangsari
tanah diantara tanaman kelapa sawit sebelum menghasilkan dapat ditanami tanaman
jagung , ternak sapi dan kolam ikan lele.
a. Pengajiran
Maksud
pengajiran adalah untuk menentukan tempat yang akan ditanami kelapa sawit
sesuai dengan jarak tanam yang dipakai. Ajir harus tepat letaknya, sehingga
lurus bila dilihat dari segala arah, kecuali di daerah teras dan kontur. Sistem
jarak penanaman yang digunakan adalah segitiga sama sisi, dengan jarak 9x9x9 m.
Dengan sistem segi tiga sama sisi ini, pada arah Utara – selatan tanaman
berjarak 8,82 m dan jarak untuk setiap tanaman adalah 9 m, jumlah tanaman 143
pohon/ha.
b. Pembuatan Lubang Tanam
Lubang tanam dibuat beberapa hari sebelum menanam.
Ukurannya adalah 50x40x40 cm. Pada waktu menggali lubang, tanah bagian atas dan
bawah dipisahkan, masingmasing di sebelah Utara dan Selatan lubang.
c. Cara Penanaman
Penanaman dilakukan pada awal musim hujan, setelah hujan turun dengan
teratur. Adapun tahapan penanaman sebagai berikut :
1. Letakkan bibit yang berasal dari
polibag di masing-masing lubang tanam yang sudah dibuat.
2. Siram bibit yang ada pada polybag
sehari sebelum ditanam agar kelembaban tanah dan persediaan air cukup untuk
bibit.
3. Sebelum penanaman dilakukan pemupukan dasar
lubang tanam dengan menaburkan secara merata pupuk fosfat seperti Agrophos dan
Rock Phosphate sebanyak 250 gr/lubang.
4. Buat keratan vertikal pada sisi
polybag dan lepaskan polybag dari bibit dengan hati-hati, kemudian dimasukkan
ke dalam lubang.
5. Timbun bibit dengan tanah galian
bagian atas (top soil) dengan memasukkan tanah ke sekeliling bibit secara
berangsur-angsur dan padatkan dengan tangan agar bibit dapat berdiri tegak.
6. Penanaman bibit harus diatur
sedemikian rupa sehingga permukaan tanah polybag sama ratanya dengan permukaan
lubang yang selesai ditimbun, dengan demikian bila hujan, lubang tidak akan
tergenang air.
7. Pemberian mulsa sekitar tempat
tanam bibit sangat dianjurkan.
e. Teknik dan Cara penanaman
Masukkan bibit
ke dalam lobang dengan hati-hati dan kantong plastik dibuka. Lobang ditimbun
dengan tanah, tidak boleh diinjak-injak agar tidak terjadi kerusakan. Bibit
yang tingginya lebih dari 150 cm, daunnya dipotong untuk mengurangi penquapan.
Penanaman sebaiknya dilakukan pada awal musim penghujan.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
tanaman selingan ialah:
Tanaman itu
memberi keuntungan dalam masa tiga tahun. Tanaman itu tidak mengganggu
kesuburan pohon kelapa sawit dari segi zat-zat pemakanan, air dan cahaya matahari.
Ada pasaran atau mudah memasarkan hasil tanaman selingan itu.
Tabel
1. Karakteristik Hubungan Sistem Usahatani dengan Pemanfaatan
Teknologi Pertanian.
Variabel
|
Subsisten
|
Integrasi
|
Semi Komersial
|
Komersial
|
Input
|
Semuanya diusahakan sendiri
|
Campuran antara diusahakan sendiri
dan dibeli dari tetangga
|
Dibeli di pasar atau kios, sudah
memiliki standar/sertifikat
|
Dibeli di pasar dengan standar dan
kualitas
|
Tenaga kerja
|
Semua tenaga kerja sendiri
|
Campuran antara dalam keluarga dan
luar keluarga
|
Sebagian besar tenaga kerja luar
(sewa/upah)
|
Luar dan mekanisasi
|
Penggunaan output
|
Untuk sendiri
|
Kebanyakan untuk sendiri, surplus
dijual
|
Sebagian dipakai sendiri, surplus
dijual
|
Dijual komersial
|
Diversifikasi
|
Tidak/belum ada
|
Ada namun terbatas
|
Ada
|
Spesialisasi
|
Kelembagaan
|
Tidak/belum dikenal atau tidak
terlibat
|
Masih antar anggota/gotong royong
kuat
|
Ada, perlu bantuan kredit dari
lembaga keuangan
|
Mutlak diperlukan
|
Mekanisasi
|
Semuanya manual/hewan
|
Manual/tenaga ternak/mekanisasi
|
Sebagian mekanisasi
|
Sebagian besar atau seluruhnya
mekanisasi
|
Tabel 1 menunjukkan bahwa sistem usahatani integrasi (mix
farming), merupakan pengembangan dari sistem usahatani subsisten. Pada
sistem integrasi ini, ada upaya petani untuk menggunakan modal dalam
pembelian input, penggunaan tenaga kerja luar keluarga dalam pengelolaan usaha,
menjual kelebihan hasil usahatani, menerapkan perpaduan pemanfaatan tanaman
dengan ternak, melibatkan kelompok tani/kelompok masyarakat dalam usaha, serta
telah mengenal mekanisasi dalam skala kecil.
Selain menghasilkan CPO sebagai
komoditas utama, industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil
samping yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, yakni
serabut mesokarp (palm press fibre/PPF), lumpur sawit (palm sludge/PS),
bungkil inti sawit (oil palm frond/OPF), dan pelepah sawit (oil palm
trunk/OPT) yang diperoleh dari kebun kelapa sawit. Tabel 2 menampilkan
komposisi produk dan hasil samping pabrik kelapa sawit dan potensi
pemanfaatannya sebagai pakan ternak (Elisabeth dan Ginting, 2004).
Tandan Buah Segar (TBS)
|
Tandan kosong sawit (TKS) (23%)
|
PPF (13%)
|
Minyak sawit (20-22%)
|
Inti sawit (5%)
|
Cangkang (7%)
|
PS (2%, BK)
|
OPF (45-46%)
|
POS (2%, BK)
|
Tabel 2. Produk dan Hasil
Samping dari Pabrik Kelapa Sawit (tulisan yang dimiringkan dalam kotak adalah
bahan yang dapat digunakan sebagai pakan ternak). Untuk lebih jelasnya, hasil
utama dan hasil ikutan perkebunan kelapa sawit (Wijono et al, 2004)
adalah sebagai berikut:
- Produk utama kelapa sawit
-
Crude Palm Oil (CPO) adalah minyak buah kelapa sawit.
-
Palm Kernel Oil (PKO) adalah minyak inti biji sawit.
- Produk hasil ikutan pengolahan kelapa sawit
-
Palm Press Fibre (PPF) adalah serat buah sawit merupakan sisa perasan
buah sawit.
-
Palm Sludge (PS) adalah lumpur sawit merupakan cairan sisa pengolahan
minyak sawit.
-
Palm Kernel Cake (PKC) adalah bungkil kelapa sawit berupa sisa ekstraksi
inti sawit.
- Produk perkebunan kelapa sawit
-
Oil Palm Fronds (OPF) adalah pelepah daun sawit berupa bagian dalam
pangkal batang daun kelapa sawit.
-
Empty Fruits Bunch (EFB) adalah tandan buah kosong atau tandan yang
dikastrasi atau tidak berbiji.
- Produk lahan perkebunan
-
Produk Hijauan Antar Tanaman (HAT) adalah vegetasi di lahan perkebunan
(leguminosa, semak, ilalang, rumput lapangan).
Komposisi nutrisi produk samping
tanaman dan pengolahan kelapa sawit disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3.
Komposisi Nutrisi Produk Samping Tanaman dan
Pengolahan Kelapa Sawit.
Bahan/Produk Samping
|
Bahan Kering (%)
|
Abu
|
Protein Kasar
|
Serat Kasar
|
Lemak (% BK)
|
BETN
|
Ca
|
P
|
GE (Kal/g)
|
Pelepah
|
26,07
|
5,10
|
3,07
|
50,96
|
1,07
|
39,82
|
0,96
|
0,08
|
4,841
|
Bungkil inti sawit
|
91,83
|
4,14
|
16,33
|
36,68
|
6,49
|
28,19
|
0,56
|
0,84
|
5,178
|
Serat perasan
|
93,11
|
5,90
|
6,20
|
48,10
|
3,22
|
-
|
-
|
-
|
4,684
|
Tandan kosong
|
92,10
|
7,89
|
3,70
|
47,93
|
4,70
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Sumber: Mathius et al (2005).
Menurut
Ruswendi et al
(2006), pemberian pakan solid (lumpur sawit yang dikeringkan) 1,3 kg/ekor/hari
dan pelepah daun kelapa sawit 1,5 kg/ekor/hari memperlihatkan produktivitas
Sapi Bali yang digemukkan hampir mencapai 2 kali lebih baik daripada Sapi Bali
yang hanya diberi pakan hijauan, yakni masing-masing memperlihatkan pertambahan
berat badan harian (PBBH) sebesar 0,267 kg/ekor/hari berbanding 0,139
kg/ekor/hari. Hal ini diperkuat oleh Sudaryono et al (2009), bahwa Sapi PO yang diberi pakan
solid sebanyak 5 kg/ekor/hari dan hijauan memiliki pertambahan berat badan
sebesar 0,378 kg/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan sapi yang mengkonsumsi
pakan hijauan saja (0,199 kg/ekor/hari), disamping efisiensi tenaga kerja dalam
mencari pakan hijauan mencapai 50%.
Selanjutnya
Sudaryono et al
(2009) menambahkan bahwa hasil pengamatan pada 6 ha tanaman kelapa sawit rakyat
setelah 6 bulan perlakuan pemberian pupuk (SP-36, KCl dan Urea) sebanyak 70%
dari dosis anjuran dan kompos kotoran ternak sapi 20 kg/batang/tahun
menunjukkan bahwa berat TBS rata-rata meningkat dari 9,3 kg menjadi 13,8
kg/tandan atau meningkat 48,2%.
Pupuk Makro
Urea
|
|
225 kg/ha
1000 kg/ha |
TSP
|
|
115 kg/ha
750 kg/ha |
MOP/KCl
|
|
200 kg/ha
1200 kg/ha |
Kieserite
|
|
75 kg/ha
600 kg/ha |
Borax
|
|
20 kg/ha
40 kg/ha |
tabel 4. NB. : Pemberian pupuk pertama sebaiknya pada awal musim hujan (September - Oktober) dan kedua di akhir musim hujan (Maret- April).
POC NASA
a. Dosis POC NASA mulai awal tanam :
0-36 bln
|
2-3
tutup/ diencerkan secukupnya dan siramkan sekitar pangkal batang, setiap 4 -
5 bulan sekali
|
>36 bln
|
3-4
tutup/ diencerkan secukupnya dan siramkan sekitar pangkal batang, setiap 3 –
4 bulan sekali
|
Tabel
5. Dosis pemberian POC NASA
Tahap
1 : Aplikasikan 3 – 4 kali berturut-turut
dengan interval 1-2 bln. Dosis 3-4 tutup/ pohon
Tahap 2 : Aplikasikan setiap 3-4
bulan sekali. Dosis 3-4 tutup/ pohon
Catatan: Akan Lebih baik pemberian diselingi/ditambah SUPERNASA 1-2 kali/tahun dengan dosis 1 botol untuk + 200 tanaman. Cara lihat Teknik Penanaman (Point 3.2.3.)
Pelepah dan Daun Kelapa Sawit
Catatan: Akan Lebih baik pemberian diselingi/ditambah SUPERNASA 1-2 kali/tahun dengan dosis 1 botol untuk + 200 tanaman. Cara lihat Teknik Penanaman (Point 3.2.3.)
Pelepah dan Daun Kelapa Sawit
Pelepah dan Daun Kelapa
Sawit dapat dijadikan sebagai pakan berserat ternak ruminansia dengan cara
dichopper (dicacah) terlebih dahulu dan dilayukan selama satu malam
Lumpur
Sawit
Lumpur hasil agroindustri
pengolahan kelapa sawit dapat dijadikan sebagai pengganti bekatul sampai 80%
dengan cara melakukan pengeringan lumpur sawit dan digiling menjadi tepung
Serat Sawit
Serat Sawit
Serat buah kelapa sawit
dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku pakan berserat dengan cara
difermentasi. Proses fermentasi serat sawit sama dengan proses fermentasi
jerami padi sebagai berikut :
Proses Fermentasi Serat
Sawit :
1. Serat Sawit ditumpuk dan
dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm pada sebuah wadah
dari kayu dengan dinding papan yang tidak rapat (untuk sirkulasi udara) pada
lokasi ternaungi
2. Diatas tumpukan tersebut
diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat
digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat serat sawit), lumpur hasil samping
agroindustri kelapa sawit sebanyak 5% dari total serat sawit dan atau Probiotik
3. Diatas tumpukan pertama diberi lagi serat sawit dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat serat sawit), lumpur hasil samping agroindustri kelapa sawit sebanyak 5% dari total serat sawit dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan adalah 1,5 meter)
3. Diatas tumpukan pertama diberi lagi serat sawit dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat serat sawit), lumpur hasil samping agroindustri kelapa sawit sebanyak 5% dari total serat sawit dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan adalah 1,5 meter)
5. Setelah terbentuk
tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk lasti kadar air tumpukan min
60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba fermentor) Lakukan penutupan
bagian atas tumpukan dengan karung lastic atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 – 21 hari
7. Setelah 14 – 21 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau diangin-anginkan sampai kering sebagai stok pakan atau dapat juga langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 – 21 hari
7. Setelah 14 – 21 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau diangin-anginkan sampai kering sebagai stok pakan atau dapat juga langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia
3.1.2.
Cara Penanaman jagung di lahan Sawit
Penanaman jagung
pada lahan kering dapat dilakukan dua sampai tiga kali dalam setahun, dan
intensitas tanam ini sangat tergantung pada jumlah dan distribusi curah
sepanjang tahun. Usahatani jagung dilakukan secara monokultur dan intercropping
denga tanaman tahunan seperti sawit, Pada saat ini pola tanam jagung secara
monokultur pada lahan kering sudah berkurang karena areal penanaman jagung
sudah banyak ditanami dengan tanaman tahunan yang mempunyai prospek yang lebih
baik. Kondisi ini berdampak terhadap penurunan produksi dan produktivitas
jagung pada masa yang akan datang. Salah satu contoh, di Kabupaten 50 Kota luas
areal tanam dan areal panen serta produksi jagung setiap tahunnya tidak
menunjukkan peningkatan, bahkan pada beberapa lokasi terjadi penurunan meskipun
produktivitas sedikit meningkat. Terjadinya penurunan produksi jagung tidak
hanya diakibatkan oleh luas areal tanam yang semakin sempit, tetapi juga akibat
semakin meningkatnya usaha tani jagung panen muda yang dapat memberikan
keuntungan yang lebih besar.
1. Teknik Budidaya
Pada lahan yang selalu ditanami jagung disepanjang musim
tanam, teknik budidaya yang paling tepat adalah sistem TOT (Tanpa Olah Tanah),
karena sistem ini dapat menghemat tenaga, biaya dan waktu serta dapat
meningkatkan intensitas tanam Persiapan
lahan dilakukan dengan penyemprotan herbisida 10-15 hari sebelum panen, di saat
panen gulma sudah mulai kering. Setelah panen, batang jagung dipotong dan
disusun sejajar dengan tanaman sebelumnya. Kemudian lobang tanaman dibuat
disamping bumbun tanaman sebelumnya dengan Jarak antar lobang tanam mengikuti
rekomendasi yaitu 80x40 cm, 2 benih/lobang atau 80x20 cm, 1 benih/lobang.
Intercropping dengan Tanaman Tahunan, Dewasa ini penanaman
jagung dengan pola monokultur sudah mulai berkurang karena sudah banyak yang
intercropping dengan komoditas tanaman tahunan seperti sawit,. Bahkan pada
suatu areal pertanaman jagung sudah ditanami dengan beranekaragam tanaman
tahunan. Di areal  Prima Tani koto Baru Simalanggang Kabupaten 50 Kota
terdapat beberapa jenis tanaman tahunan seperti kelapa, kakao, pisang, rambutan
dan durian. Pada areal tersebut penanaman jagung tetap dilakukan sepanjang
musim tanam selagi faktor iklim dan lingkungan masih mendukung. Pola semacam
ini hanya dapat bertahan sampai tajuk tanaman tahunan sudah mulai mencapai
permukaan tanah. Dari hasil pengamatan langsung di lapangan terlihat bahwa
rata-rata beberapa varietas jagung yang ditanam dengan sistem pola tanam
campuran kelapa sawit masih berkisar antara 3,12 sampai 3,88 t/ha. Hasil
tertinggi dicapai oleh jagung hibrida Pioneir 12 (3,89 t/ha) yang berarti
masing-masing varietas dapat memberikan hasil diatas 3 t/ha. Hasil yang
terendah ini antara lain disebabkan proporsi sudah semakin sempit sehingga
populasi tanaman persatuan tidak optimal ditambah lagi persaingan antar tanaman
sudah semakin berat, terutama dalam pengambilan unsur hara, air, cahaya dan
tata ruang.
2. Lubang Tanam dan Cara Tanam
Lubang tanam ditugal, kedalaman 3-5 cm, dan tiap lubang
hanya diisi 1 butir benih. Jarak tanam jagung disesuaikan dengan umur panennya,
semakin panjang umurnya jarak tanam semakin lebar. Jagung berumur panen lebih
100 hari sejak penanaman, jarak tanamnya 40x100 cm (2 tanaman /lubang). Jagung
berumur panen 80-100 hari, jarak tanamnya 25x75 cm (1 tanaman/lubang). Panen <>E.
Pengelolaan Tanaman
3. Penjarangan dan Penyulaman
Tanaman yang tumbuhnya paling tidak baik, dipotong dengan
pisau atau gunting tajam tepat di atas permukaan tanah. Pencabutan tanaman
secara langsung tidak boleh dilakukan, karena akan melukai akar tanaman lain
yang akan dibiarkan tumbuh. Penyulaman bertujuan untuk mengganti benih yang
tidak tumbuh/mati, dilakukan 7-10 hari sesudah tanam (hst). Jumlah dan jenis
benih serta perlakuan dalam penyulaman sama dengan sewaktu penanaman.
4. Penyiangan
Penyiangan dilakukan 2 minggu sekali. Penyiangan pada
tanaman jagung yang masih muda dapat dengan tangan atau cangkul kecil, garpu
dll. Penyiangan jangan sampai mengganggu perakaran tanaman yang pada umur
tersebut masih belum cukup kuat mencengkeram tanah maka dilakukan setelah
tanaman berumur 15 hari.
5. Pembumbunan
Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan untuk
memperkokoh posisi batang agar tanaman tidak mudah rebah dan menutup akar yang
bermunculan di atas permukaan tanah karena adanya aerasi. Dilakukan saat
tanaman berumur 6 minggu, bersamaan dengan waktu pemupukan. Tanah di sebelah
kanan dan kiri barisan tanaman diuruk dengan cangkul, kemudian ditimbun di
barisan tanaman. Dengan cara ini akan terbentuk guludan yang memanjang.
6. Pengairan
dan Penyiraman
Setelah benih ditanam, dilakukan penyiraman secukupnya,
kecuali bila tanah telah lembab, tujuannya menjaga agar tanaman tidak layu.
Namun menjelang tanaman berbunga, air yang diperlukan lebih besar sehingga
perlu dialirkan air pada parit-parit di antara bumbunan tanaman jagung.
7. Pemupukan
Tabel 6.
Dosis pupuk makro untuk jagung
Waktu |
Dosis Pupuk Makro (per ha) |
Dosis POC NASA |
||
Urea (kg) |
TSP (kg) |
KCl (kg) |
||
Perendaman benih |
-
|
-
|
-
|
2 - 4 cc/ lt air |
Pupuk dasar |
120
|
80
|
25
|
20 - 40 tutup/tangki ( siram merata ) |
2 minggu |
-
|
-
|
-
|
4 - 8 tutup/tangki ( semprot/siram) |
Susulan I (3 minggu) |
115
|
-
|
55
|
- |
4 minggu |
-
|
-
|
-
|
4 - 8 tutup/tangki ( semprot/siram ) |
Susulan II (6minggu) |
115
|
-
|
-
|
4 - 8 tutup/tangki ( semprot/siram ) |
3.1.3. Integritas Sapi dengan Sawit
Peternakan sapi di sekitar
perkebunan kelapa sawit dimulai dalam bentuk penggembalaan bebas untuk
memanfaatkan ketersediaan hijauan berbentuk gulma di bagian bawah tanaman
kelapa sawit. Awaludin dan Masurni (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2002,
terdapat 214 perkebunan kelapa sawit di Malaysia telah melaksanakan sistem
integrasi dengan 127.589 ekor sapi dalam program pengendalian hama terpadu pada
kebun kelapa sawit. Hasilnya, usaha penggemukan sapi dapat menekan perkembangan
gulma sampai 77% sehingga dapat menghemat biaya pengendalian gulma pada
perkebunan kelapa sawit.
Dalam
proses pengolahan minyak sawit (CPO) dihasilkan limbah cairan yang sangat
banyak, yaitu sekitar 2,5 m3/ton CPO yang dihasilkan. Limbah ini mengandung
bahan pencemar yang sangat tinggi, yaitu. ‘biochemical oxygen demand’ (BOD)
sekitar 20.000‑60.000 mg/l (Wenten, 2004). Pengurangan bahan padatan dari
cairan ini dilakukan dengan menggunakan suatu alat decanter, yang menghasilkan
solid ‘decanter atau lurnpur sawit. Bahan padatan ini berbentuk seperti lumpur,
dengan kandungan air sekitar 75%, protein kasar 11‑14% dan lemak kasar 10‑14%.
Kandungan air yang cukup tinggi, menyebabkan bahan ini mudah busuk. Apabila
dibiarkan di lapangan bebas dalam waktu sekitar 2 hari, bahan ini terlihat
ditumbuhi oleh jamur yang berwarna kekuningan. Apabila dikeringkan, lumpur
sawit berwarna kecoklatan dan terasa sangat kasar dan keras. Banyak penelitian
telah dilaporkan tentang penggunaan lumpur sawit sebagai bahan pakan ternak
ruminansia maupun non‑ruminansia. Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada
ternak sapi, pemberian lumpur sawit yang dicampur dengan bungil inti sawit
dengan perbandingan 50:50 adalah yang terbaik untuk pertumbuhan sapi. Dilaporkan
bahwa sapi droughtmaster yang digembalakan di padang penggembalaan rumput Brachiaria
decumbens hanya mencapai pertmbuhan 0,25 kg/ekor/hari, tetapi dengan
penambahan lumpur sawit yang dicampur dengan bungkil inti sawit, mampu mencapai
pertmbuhan 0,81 kg/ekor/hari. keuntungan integrasi sapi dengan kelapa sawit
adalah diperolehnya output tambahan yaitu lebih banyak produksi TBS dan Crude
Palm Oil (CPO) akibat pupuk organik, penghematan biaya pembuatan kolam
limbah pabrik kelapa sawit, penghematan biaya transportasi TBS, penghematan
biaya pupuk karena menggunakan pupuk organik sendiri, penghematan pembuatan dan
pemeliharaan jalan, pertambahan bobot hidup sapi dengan biaya murah karena
pakan limbah yang murah, dan kebersihan lingkungan. Peternakan sapi di sekitar perkebunan kelapa
sawit dimulai dalam bentuk penggembalaan bebas untuk memanfaatkan ketersediaan
hijauan berbentuk gulma di bagian bawah tanaman kelapa sawit. Awaludin dan
Masurni (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2002, terdapat 214 perkebunan kelapa
sawit di Malaysia telah melaksanakan sistem integrasi dengan 127.589 ekor sapi
dalam program pengendalian hama terpadu pada kebun kelapa sawit. Hasilnya,
usaha penggemukan sapi dapat menekan perkembangan gulma sampai 77% sehingga
dapat menghemat biaya pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit.
Beberapa
hasil penelitian integrasi sapi dengan kelapa sawit yang secara garis besar
menguntungkan petani/peternak maupun pemilik perkebunan kelapa sawit. Mengapa
integrasi ini perlu dan mendesak untuk dilakukan di perkebunan kelapa sawit,
Chaniago (2009) menguraikan beberapa alasan tentang hal tersebut sebagai
berikut:
a. Hambatan utama
pengembangan populasi sapi adalah pakan yang cukup dan berkualitas, sedangkan
agribisnis kelapa sawit dapat menyediakan pakan sapi berkualitas lebih dari
cukup. Integrasi sapi dalam kawasan kebun sawit akan dapat mendorong pencapaian
swasembada daging dalam waktu yang relatif singkat.
b. Integrasi menggunakan
lahan usahatani yang semakin terbatas secara lebih efisien. Satu lokasi lahan
dapat digunakan untuk beberapa komoditi pertanian.
c. Lahan pertanian sudah
sangat lelah (fatique soil), miskin akan bahan organik, sehingga sulit
untuk mempertahankan produktivitasnya. Dengan adanya sapi di kawasan kebun
sawit, maka faeces sapi bersama dengan tandan kosong sawit, limbah organik
lainnya, dan limbah cair pabrik kelapa sawit bisa diolah menjadi pupuk organik
untuk memupuk kelapa sawit sehingga kesuburan lahan dapat dipertahankan dan
bahkan ditingkatkan untuk meningkatkan produksi TBS.
d. Untuk meningkatkan
kelenturan dan efisiensi usaha bila terjadi kegoncangan harga TBS seperti yang
terjadi beberapa kali, terakhir terjadi pada akhir tahun 2008 dan awal 2009.
Hasil usaha ternak sapi yang harganya selalu meningkat bisa meningkatkan neraca
usaha. Saat ini dalam persaingan yang semakin ketat dalam usaha agribisnis
kelapa sawit, usaha integrasi dapat membantu keberlangsungan agribisnis kelapa
sawit.
e. Telah terlihat trend
yang sangat kuat peningkatan permintaan akan bahan pangan organik, maka
permintaan dan penggunaan pupuk organik akan semakin meningkat. Pupuk organik
yang dihasilkan dapat digunakan sendiri dan kelebihannya dapat dijual untuk memenuhi
permintaan pasar yang memberikan tambahan pendapatan. Dengan penggunaan pupuk
organik sepenuhnya maka produksi CPO menjadi bahan pangan organik yang diminati
oleh konsumen.
Usaha
yang dipakai dalam menerapkan pertanian terpadu adalahdengan
menggabungkan dua subsistem utama yaitu peternakan dan pertanian.Pada bidang peternakan, di lahan ini terdapat
sekitar 17 ekor sapi yangkebanyakan sapi impor dari Australia dan hanya
beberapa yang berjenislokal. Menurut
pemiliknya, kondisi sapi yang berjenis impor kurang bagus dalam
berproduksi di daerah tersebut karena ada ketidak cocokan lingkungan di daerah
ini.Analisis input pada peternakan ini
adalah kebutuhan pakan sapisebanyak
50 kilogram per hari. Pakan yang diberikan pada sapi peternakantersebut adalah jerami dan shorgum. Terkadang
untuk menambah nutrisi pakan
jerami biasanya ditambah dengan pakan konsentrat berupa campuran jagung giling dan katul. Jagung giling dapat
di ganti dengan ubi kayu.Pemberian
konsentrat tersebut sebanyak 1% dari berat bobot pakan. Karenakebutuhan pakan yang cukup banyak, terkadang input
dari dalam belummampu memenuhi
sehingga sebagian kebutuhan mendatangkan pakan dariluar. Sedangkan air tidak terlalu diperhitungkan
karena sapi biasanyamendapatkan air dari campuran pakan yang telah
diberikan.Analisis output dari peternakan berupa pupuk kandang berupa urin danfeces yang dihasilkan oleh sapi. Dalam satu tahun
sapi dapat menghasilkan pupuk
kandang sekitar 5,4 ton dengan rincian tiap hari menghasilkan 15kilogram
kotoran. Dikaitkan dengan kebutuhan lahan, informasi yang didapat bahwa
sejumlah lima ekor sapi mampu mencukupi kebutuhan pupuk organik selama satu tahun. Agar kotoran dapat menjadi
pupuk kandang biasanyadiakukan
dekomposisi selama 4 bulan agar pupuk kandang dapat langsungdigunakan pada
lahan pertanian. Selain output dari hasil pupuk kandang, peternakan
tersebut juga mendapatkan output dari hasil penjualan ternak.Pemilihan sapi
sebagai subsistem utama pertanian terpadu tersebut sangattepat. Sapi dapat
digunakan sebagai sumber pemenuh kebutuhan hara bagi pertanian lain.
Sebagai pertimbangan bahwa pada tahun pertama pertaniantersebut memiliki 5 ekor sapi, kemudian pada tahun
kedua dan ketiga berturut-turut
sebanyak 10 dan 15 ekor. Meningkat di tahun ke 4 berjumlah
17 ekor. Dari ke 17 ekor sapi itu
terdiri dari jenis Simental, Limousin danBerangus. Dari jumlah tersebut sapi
dapat dijual sebagian untuk membantu pemasukan petani. Sisanya berjumlah 8
ekor sapi tetap dipertahankan untuk pemenuhan kebutuhan hara dan investasi petani ke
depan. Keunggulanlainnya adalah sapi dapat berkembang biak dalam waktu yang
singkat.Pemeliharaan
sapi dengan penggemukan hanya dengan waktu pemeliharaan8-12
bulan.Hasil pupuk kandang dari peternakan
yaitu dalam satu hektar lahan pertanian tersebut dapat dicukupi kebtutuhan
haranya oleh lima ekor sapi.Satu ekor sapi dapat memproduksi 15 kilogram
kotoran tiap hari sehinggadalam setahun dapat mencapai 5, 4 ton kotoran yang dimanfaatkan
sebagai pupukOutput yang
dihasilkan adalah hasil pertanian utama seperti untuk tanaman
jagung dapat menghasilkan kira–kira 4-5 ton selama 3 tahun, denganharga jual Rp 2000/kilogram.
Untuk
meningkatkan kualitas BKS dilakukan proses fermentasi. Dari kegiatan ini
diharapkan kandungan seratnya dapat dirombak ke dalam bentuk yang lebih
sederhana sehingga dapat dicerna oleh ikan, kandungan proteinnya dapat
meningkat. Dalam proses fermentasi ini akan menggunakan sumber mikroba dan
enzim fermentasi dari isi perut hewan ruminansia, yaitu dari isi perut domba
atau sapi.
Isi
perut tersebut disaring, diambil cairannya kemudian dicampur dengan bungkil
sawit. Jumlah cairan bibit fermentasi sekitar 10-30%. Campuran bahan tersebut
kemudian ditambahkan air agar proses pengadukannya merata dan selanjutnya
dimasukkan dalam tong plastik. Untuk mempertahankan suhu media, lingkungan
disekitarnya dilengkapi dengan sekam padi. Selama proses fermentasi dilakukan
pengecekan terhadap suhu dan pH media yang dilakukan pada awal, pekanan dan
akhir proses fermentasi. Lama proses fermentasi ini berkisar 3-4 minggu.
Alas
kandang yang telah tercampur dengan kotoran sapi, dipindahkan ketempat
pembuatan pupuk organik. Tempat pemrosesan pupuk organik harus dijaga
tidak mendapatkan panas langsung dari sinar matahari, dan juga harus terlindung
dari air hujan. Manure tersebut dicampur dengan probion dengan imbangan 2,5 kg
probion, 2,5 kg urea dan 2,5 kg TSP untuk setiap ton bahan pupuk, selanjutnya
ditumpuk pada tempat yang telah disiapkan sehingga mempunyai ketinggian 1
meter. Campuran tersebut didiamkan selama kurang lebih 21 hari dengan
pembalikan dilakukan setiap minggu. Untuk mendapatkan partikel pupuk organik
yang relatif sama dilakukan pengeringan dengan sinar matahari secukupnya,
kemudian digiling dan dilanjutkan dengan penyaringan secara fisik. Pupuk
organik yang sudah siap disimpan dalam kantong plastik (ukuran tergantung pada
tujuan pengepakan) dan selanjutnya siap untuk digunakan.
3.1.4. Cara Perikanan Ikan
Lele di Lahan Sawit
Persiapan
untuk budi daya lele dumbo dengan kolam terpal dilahan kebun sawit meliputi
persiapan lahan kolam , persiapan material terpal ,dan persiapan perangkat
pendukung. Lahan yang perlu disediakan disesuaikan dengan keadaan dan jumlah
lele yang akan dipelihara. Untuk Pembesaran sampai tingkat konsumsi bisa digunakan
lahan dengan ukuran 4x 3 x 1 meter, yang bisa diisi dengan 100 ekor lele dumbo
ukuran 5-7 cm. Model pembuatan kolam bisa dengan menggali tanah kemudian diberi
terpal atau dengan membuat rangka dari kayu yang kemudian diberi terpal. Cara
pertama lebih membuat terpal tahan lebih lama. Kolam ikan dengan menggunakan
terpal merupakan salah satu alternatif yang efektif yang di terapkan dilahan
perkebunan sawit. bagi para petani sawit untuk membuat suatu kolam ikan lele
dengan biaya yang relative murah dan dalam pembuatan kolam terpal di lahan
perkebunan sawit sebaiknya kolam terpal berada dekat dengan kandang sapi.
Cara pembuatan :Cari
posisi tanah yang langsung terkena sinar matahari dan cukup luas untuk
pembuatan kolam.Gali
tanah sesuai dengan luas kolam yang anda inginkan dengan kedalaman ± 50
cm.Tanah
hasil galian tadi digunakan untuk tanggul di sisi kolam dan dipadatkan
supaya tanggul tersebut kuat lalu permukaan tanggul diberi batako / bata
merah supaya permukaannya rata.Setelah
penggalian selesai, selanjutnya dasar kolam diberi sekam secar merata.Terpal
siap dipasang dan diisi air.Diatas
terpal diberi batako / bata merah lagi supaya aman dan rapi.
Setelah semua bahan tersedia, terlebih
dulu ratakan tanah yang akan di pakai untuk mendirikan kolam terpal, jangan
sampai ada benda tajam di atasnya. Lalu dirikanlah patok di empat sudut berbeda
dengan ukuran panjang 4 meter dan lebar 3 meter. Kemudian pasang belahan bambu 4,2 meter untuk panjangnya dengan
menggunakan paku, dan belahan bambu 3,2 meter untuk lebarnya. Pasang agak
merapat agar rangka kolam kuat. Setelah semua terpasang, maka terpal dapat
dipasang membentuk segi empat di dalam rangka tersebut. Ujung terpal di ikat
kuat-kuat dengan kawat ke patok. Karena nantinya terpal akan diisi air, maka
pastikan rangka kolam terpasang dengan kuat.
Parameter Uji
Dalam kegiatan ini sebagai parameter
uji adalah :Bobot badan ikan akan diamati setiap pekan. Sampling dilakukan
terhadap 50 ekor ikan per kolam.
Persentase penambahan berat badan
ikan
dihitung dengan rumus:
((Wt2 – Wt1) / Wt1) X 100%
Wt1 : berat badan ikan di awal
Wt2 : berat badan ikan di akhir.
x Spesific
growth rate (%) dihitung dengan rumus: SGR = (log berat badan akhir – log berat
badan
awal/lama hari pemeliharaan x 100)
x Survival rate (SR) dihitung dengan rumus: SR = N/No x
100%
N : jumlah ikan pada akhir uji
No : jumlah pada awal uji
Feed conversion ratio (FCR) :
¦Ft1,2 / (Wt2 – Wt1)
¦Ft1,2 adalah jumlah pakan yang
diberikan selama masa pemeliharaan
Data kualitas air : Sebagai data
tambahan, kualitas air selama pemeliharaan ikan akan dicatat, yaitu pada awal,
pertengahan dan akhir. Parameter yang diamati adalah suhu, oksigen, pH, CO2, Alkalinitas
dan NH3.
Perekayasaan ini sudah mengindikasikan
bahwa limbah bungkil sawit dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk untuk pakan
ikan. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan pertumbuhan dan memberikan FCR
sebesar 2,19 pada ikan nila yang diberi pakan BKS. Selain itu harga pakan jauh
lebih murah dibanding dengan pakan dengan menggunakan bahan baku bungkil
kedelai. Harga pakan per kg untuk pakan BKS sebesar Rp 3160,-, BKSf Rp 3190,-
dan BK Rp 4240,-.
Dari hasil analisis proksimat (Tabel 7)
kandungan protein bungkil sawit fermentasi menunjukkan sebesar 22,76%, bungkil
sawit tanpa fermentasi 17,45%, bungkil kedelai 43,5%. Sedangkan kandungan
protein sudah dlalam bnetuk peletnya adalah sebagai berikut : BKSf 23,85%, BKS
22,18% dan BK 29,34%. Dari kandungan protein ini terlihat bahwa bungkil kedelai
demikian pula halnya pelet yang berbasis bungkil kedelai merupakan yang
tertinggi sehingga wajar akan memberikan pertumbuhan dan FCR yang paling baik
terhadap pertumbuhan ikan nila, karena yang menopang untuk pertumbuhan sangat
bergantung pada kandungan protein pakan. Bungkil sawit fermentasi dan BKSfnya
kandungan proteinnya lebih baik dibandingkan dengan bungkil sawit tanpa
fermentasi dan BKS, namun terhadap pertumbuhan ikan nila ternyata yang lebih
baik adalah ikan nila yang diberi pakan BKS. Hal ini dimungkinkan karena
protein dalam BKSf walaupun tinggi namun sudah terhidrolisis pada proses
fermentasi sehingga protein yang tinggi ini tidak cukup signifikan berpengaruh terhadap
pertumbuhan, karena proteinnya kemungkinan kurang tercerna oleh ikan.
Tabel 7.
Hasil Analisa Proksimat Limbah Bungkil Sawit, Magot dan Pelet untuk Kegiatan
Perekayasaan
BAHAN BAKU/PELET
|
KANDUNGAN PROKSIMAT
|
(%)
|
|||||||
AIR
|
ABU
|
PROTEIN
|
LEMAK
|
SERAT
|
BETN
|
||||
Bungkil sawit fermentasi
|
1.13
|
10.18
|
22,51
|
2.25
|
20.80
|
43.13
|
|||
Pelet BKSf
|
12.01
|
23.66
|
20,99
|
11.75
|
8.24
|
23.35
|
|||
Bungkil sawit
|
8.75
|
7.32
|
15.93
|
19.66
|
8.89
|
39.45
|
|||
Pelet BKS
|
3.25
|
9.77
|
21.46
|
8.83
|
8.25
|
48.44
|
|||
Pelet BK
|
8.96
|
13.83
|
26.71
|
8.92
|
9.20
|
32.38
|
|||
Tepung Magot
|
11.10
|
14.30
|
40.01
|
14.92
|
19.53
|
0.14
|
|||
Dalam bobot kering (kandungan air
0%)
|
|||||||||
Bungkil sawit fermentasi
|
0
|
0
|
10.30
|
22.76
|
2.28
|
21.04
|
43.62
|
||
Pelet BKSf
|
0
|
0
|
26.88
|
23.85
|
13.35
|
9.36
|
26.56
|
||
Bungkil sawit
|
0
|
0
|
8.02
|
17.45
|
21.55
|
9.74
|
43.24
|
||
Pelet BKS
|
0
|
0
|
10.10
|
22.18
|
9.13
|
8.53
|
50.06
|
||
Pelet BK
|
0
|
0
|
15.19
|
29.34
|
9.80
|
10.10
|
35.57
|
||
Tepung Magot
|
0
|
0
|
16.09
|
45.01
|
16.78
|
21.97
|
0.15
|
||
Tabel 8.
Pemberian Magot dan Pakan Buatan pada Ikan Lele
selama 2 Bulan (60 Hari) dalam Kolam
selama 2 Bulan (60 Hari) dalam Kolam
TANAM
|
PANEN
|
¦ PAKAN (G)
|
SGR
|
|||||||
MINGGU
|
GRAM
|
EKOR
|
GRAM
|
EKOR
|
MAGGOT
(GRAM)
|
PELLET
(GRAM)
|
SR
(%)
|
FCR
|
(%)
|
% W
|
Magot 1
|
17100
|
2000
|
77100
|
1695
|
90600
|
0
|
84.75
|
1.51
|
18.34
|
350.88
|
Magot 2
|
18000
|
2000
|
70000
|
1600
|
90100
|
0
|
80.00
|
1.73
|
18.10
|
288.89
|
rata-rata
|
17550
|
2000
|
73550
|
1647.5
|
90350
|
0
|
82.38
|
1.62
|
18.22
|
319.89
|
M + P 1
|
19000
|
2000
|
83000
|
1500
|
37500
|
37500
|
75.00
|
1.17
|
18.44
|
336.84
|
M + P 2
|
19500
|
2000
|
84500
|
1600
|
37050
|
37050
|
80.00
|
1.14
|
18.47
|
333.33
|
rata-rata
|
19250
|
2000
|
83750
|
1550
|
37275
|
37275
|
77.50
|
1.16
|
18.46
|
335.09
|
Pelet 1
|
20000
|
2000
|
62200
|
1047
|
0
|
70850
|
52.35
|
1.68
|
17.75
|
211.00
|
Pelet 2
|
20000
|
2000
|
82300
|
1501
|
0
|
72250
|
75.05
|
1.16
|
18.40
|
311.50
|
rata-rata
|
20000
|
2000
|
72250
|
1274
|
0
|
71550
|
63.70
|
1.42
|
18.08
|
261.25
|
Keterangan : M + P = Pakan dalam
bentuk magot dan pelet (50%)
Hasil perekayasaan ini apabila
dibandingkan dengan dengan hasil penelitian Ng et al. (2004) hasilnya belum
bisa menyamai. Dari hasil proses fermentasi bungkil sawit menggunakan Trichoderma
sp yang dilakukan oleh Ng et al. (2004), mampu meningkatkan kandungan
protein kasar dari 17% menjadi 32%. Perbedaan ini kemungkinan dari proses
fermentasi yang dilakukan oleh BBPBAT masih belum sempurna, sehingga untuk
kedepan perlu dilakukan kajian dalam proses fermentasi bungkil sawit sehingga
diperoleh prosedur yang standar dengan hasil yang maksimal.
Dari hasil perekayasaan pemberian
magot, dibandingkan dengan pelet dan campuran magot dan pelet (Tabel 8)
menunjukkan bahwa ikan lele dumbo yang diberi pakan campuran magot dan pelet,
masingmasing 50% jauh lebih baik pertumbuhan dan FCR dibanding dengan magot
atau pelet saja. Selanjutnya diikuti oleh ikan yang diberi pelet dibanding
dengan magot saja. Adapun pelet yang digunakan adalah pakan komersial dengan
kandungan protein diatas 35%, yaitu pakan udang windu.
Pengaruh positif pemberian kombinasi
magot dan pelet terhadap pertumbuhan dan FCR pada ikan lele dumbo, diduga oleh
peran enzim pencernaan yang terdapat dalam magot sehingg protein pakan akan
semakin mudah dicerna dan diserap oleh tubuh ikan yang selanjutnya akan
berdampak terhadap cepatnya pada pertumbuhan dan pakan akan semakin efisien.
Kemungkinan lain akan semakin lengkapnya komposisi asam amino esensial antara
yang ada dalam pelet dengan magot sehingga saling sinergi sehingga berdampak
positif terhadap pertumbuhan dan FCR.
Tabel 9.
Hasil Pengukuran Kualitas Air dalam Wadah Uji Pakan Lele dalam Kolam Terpal Plastik
PARAMETER
|
||||||||
JAM
|
STASIUN
|
SUHU
(°C )
|
PH
|
O2
(mg/l)
|
CO2
(mg/l)
|
ALK
(mg/l)
|
NH3
(mg/l)
|
NO2
(mg/l)
|
08.00
|
Bak terpal
|
25.4
|
7.50
|
4.15
|
24.60
|
112.50
|
0.96
|
0.174
|
24.8
|
7.17
|
1.91
|
13.70
|
81.04
|
0.70
|
0.104
|
||
24.0
|
6.7
|
0.7
|
11.0
|
49,79
|
2.6
|
0.2
|
||
Rataan
|
24.73
|
7,12
|
2,25
|
16,43
|
81.11
|
1.42
|
0,159
|
|
Baku mutu
|
25-30
|
6,5-8,5
|
> 4
|
< 12
|
50-300
|
< 1
|
< 0,06
|
Magot
merupakan salah proses biokonversi, dari bahan organik nabati dirubah menjadi
organik hewani dengan kandungan protein cukup tinggi. Magot yang dibudidaya
berasal dari larva insekta black solder, Hermetia
illucens. Insekta ini banyak ditemukan dari daerah tropis hingga
subtropis. Ukuran dewasa hidup ditanaman rerumputan dan sari bunga sebagai
sumber makanannya.
BKS
fermentasi disimpan dalam wadah jolang, fibre glas atau bak semen, ditebar
secara merata. Dalam tempo seminggu biasanya sudah ditemukan larva magot. Larva
tersebut bisa dipelihara dalam wadah sebelumnya atau dikumpulkan untuk
dipelihara dalam wadah lain, dengan setiap hari diberi makanan berupa BKS
fermentasi. Magot usia 10-14 hari sudah bisa dipanen. Caranya dengan cara
memisahkan magot dari substrat, kemudian dicuci. Magot ini bisa dilangsung
diberikan ke ikan sebagai pakan, disimpan dalam freezer atau dibuatkan dalam
bentuk tepung.
Prosedur pembuatan pakan sebagai
berikut :
- Bahan pakan ditimbang sesuai dengan formula, kemudian diproses dengan menggunakan mesin untuk dijadikan pele
- ·Pakan yang sudah berbentuk pelet dikemas agar tidak mudah rusak dan tidak terkontaminasi.
- ·Pakan selanjutnya dilakukan analisa proksimat di laboratorium
Pengujian pakan dilakukan di kolam dengan prosedur sebagai berikut:
- Menyiapkan wadah berupa jaring ukuran (6 x 6 x 3)m sebanyak 6 buah. Tiap wadah diisi ikan lele sebanyak 50 kg dengan jumlah ekor kurang lebih 1.500-2.000 ekor.
- Untuk melihat bobot dan panjang standar individu ikan pada saat penebaran, dilakukan pengukuran dan penimbangan pada setiap wadahnya dengan cara diambil sampel sebanyak 50 ekor.
- Jumlah pakan diberikan setiap hari sebanyak 5-3% dengan frekuensi pemberian 3 kali
- Pemeliharaan dilakukan selama 2-3 bulan.
- Pada akhir pengujian dilakukan pengukuran terhadap bobot ikan setiap wadah dan penghitungan jumlah ekor, serta pada setiap wadah diambil 50 ekor untuk diukur panjang dan ditimbang bobot individu. Jumlah pakan selama pengujian dicatat.
Pemberian Magot
Pada Ikan Lele dan Proses Pengujiannya
Ada tiga jenis pakan yang akan
dilakukan pengujian pada pembesaran ikan lele , yaitu : magot 100% (A); magot
50% dan pakan formula lele 50% (B); dan pakan formula lele 100% (C). Setiap
perlakuan akan dilakukan pengulangan sebanyak dua kali.
Jumlah pemberian pakan setiap
harinya sebanyak 10-3%, dengan frekuensi pemberian 3 kali, yaitu pada pkl
08.00, 11.30 dan 16.00. Penyesuaian jumlah pakan dilakukan setiap 1 minggu
sekali dengan menimbang ikan setiap wadahnya secara sampling sebanyak 50 ekor.
Wadah pemeliharaan digunakan bak
terpal plastik berukuran 7×2,5×0,5 m sebanyak 6 buah. Tiap wadah ditebar benih
lele sebanyak kurang lebih 20 kg dengan
jumlah sekitar 2000 ekor.
Untuk menghindari adanya kanibalisme
oleh ikan lele yang memiliki pertumbuhan cepat sehingga ukurannya lebih besar,
maka pada umur 1 bulan dilakukan pengecekan dan ukurannya yang lebih besar
tersebut ditangkap, dihitung dan ditimbang serta dicatat pada setiap wadahnya.
Keterangan :
Pembutan
kolam terpal ini akan lebih efektif dan efisien di mana air dikolam terpal
tidak di hisap atau diserap oleh akar sawit sehingga air dalam kolam akan tetap
stabil dan perkembangan ikan lele tidak terganggu, serta memudahkan perawatan
dan dalam mengganti air pada kolam terpal tersebut.
I.
KESIMPULAN
- Potensi pengembangan integrasi kelapa sawit, sapi, jagung, dan ikan lelel masih sangat besar ditinjau dari luas kebun kelapa sawit di Indonesia yaitu sekitar 7 juta ha.
- Integrasi kelapa sawit, sapi, jagung, dan ikan lele dapat mendorong peningkatan populasi dan produktivitas peternakan, pertanian, perikanan dan efisiensi usaha perkebunan sawit.
- Secara ekonomi, peningkatan populasi ternak sapi dapat mengurangi impor yang menghemat devisa negara, meningkatkan kelenturan agribisnis kelapa sawit dalam persaingan global.
- Sistem integrasi perkenunan kelapa sawit, sapi, jagung, dan ikan lele memberikan tambahan pendapatan bagi petani peternak maupun pekebun dari hasil samping yang diperoleh (pakan, efisiensi tenaga kerja, penggunaan pupuk organik).
- Usahatani integrasi kelapa sawit, sapi, jagung dan ikan lele ramah lingkungan dan berkelanjutan.
- Salah satu solusi dalam mengatasi pencernaran lingkungan yang disebabkan fimbah pabrik sawit , dengan memanfaatkan limbah tersebut sebagai pakan ternak sapi.
Daftar Pustaka
Awaludin, R. dan S.H.
Masurni (2004). Systematic Beef Cattle Integration in Oil Palm Plantation with
Emphasis The Utilization of Undergrowth. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa
Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 23-35.
Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian. 2009. Perspektif Daya Dukung Lahan Pertanian dan
Inovasi Teknologi dalam Sistem Integrasi Ternak Tanaman Berbasis Sawit, Padi
dan Kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi
Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor.
Chaniago, T. 2009. Perspektif
Pengembangan Ternak Sapi di Kawasan Perkebunan Sawit. Prosiding Workshop
Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit,
Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Direktorat Jenderal
Peternakan. 2009. Kebijakan Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Prosiding
Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi,
Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Diwyanto, K., D. Sitompul,
I. Manti, I.W. Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha
Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit
– Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 11-22.
Elisabeth, J. dan S.P. Ginting,
2004. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit sebagai Bahan Pakan
Ternak Sapi Potong. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan
Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 110-119.
Handaka, A. Hendriadi, dan
T. Alamsyah. 2009. Perspektif Pengembangan Mekanisasi Pertanian dalam Sistem
Integrasi Ternak – Tanaman Berbasis Sawit, Padi, dan Kakao. Prosiding Workshop
Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak – Tanaman: Padi, Sawit,
Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Luthan, F. 2009. Implementasi
Program Integrasi Sapi dengan Tanaman Padi, Sawit dan Kakao di Indonesia.
Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak –
Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Bogor
Tanggal dwonlot :
tanggal 24 November 2012 jam 19.30. tanggal 25 November 2012 jam 10.15, tanggal
30 November 2012 jam 20.15 tanggal 2 Desember 2012 jam 19.25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar